Jumat, 30 November 2012

Puisi Secerah Mentari Pagi

***
Memandang langit nan indah
Menikmati ciptaan Sang Maha Pemurah

Ucapan syukur menghias lidah
Berharap kan bisa selalu terarah
Terik mentari di pagi hari
Menghibur jiwa yang sunyi
Cahanya semerbak menyinari hati

Berusaha temukan cinta sejati
Hatiku kini tak lagi pilu
Terbuai dunia yang menipu
Kuberharap ini kan bersemi selalu
Demi mengharap cinta Dzat Yang Maha Tahu Kuberharap hatiku kan secerah mentari
Bisa menerangi hati hati yang sunyi
Membangunkan jiwa jiwa yang sepi Mengapai ridho ilahi.

LOVE IN TROPHY

Oleh Vj Smart

Taukah saat ini saat yang sangat sulit
Aku tahu banyak yang harus ku perbaiki
Ini mungkin masa terakhir kita bersama
Sebelum kita menempuh jalan prestasi
Terlalu sukar untuk dirasakan
Ketika semuanya terulang dan bersama
Ketika hati berkata lain kepada sang
bunda
Ketika aku harus memilih waktu yang tak
pasti
Semua kulakukan untu keduanya
Saat senyum itu, aku fikir apa ini
perpisahan
Apa allah mengijinkan kita untuk
beberapa hari saja
Entahlah semua itu akan kita buktikan di
Lapangan
Bertarung dan berpestrasi
Menang atau kalah tidak jadi masalah
Semoga piala ini saksi kebersamaan kita
Bukan drai akhir tangis perpisahan
Memori20 Nov’12.
20"s

KECAMATAN BENDAHARA,ACEH TAMIANG

- Kecamatan —
Negara Indonesia
Provinsi Nanggröe Aceh
Darussalam Kabupaten Aceh Tamiang Pemerintahan
- Camat Helmi, Se
Luas - km²
Bendahara adalah sebuah Kecamatan
di Kabupaten Aceh Tamiang, Nanggröe
Aceh Darussalam , Indonesia.
l • b • s
Kecamatan Bendahara,
Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh
Gampong Alur Cantik · Alur
Munang · Bandar Baru ·
Cinta Raja · Gampong
Balai · Gampong Bandar
Khalifah · Gampong
Besar · Gampong Jawa
Tinggi · Kampung Mesjid ·
Kampung Mesjid Sungai yu
l • b • s
Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh
Kecamatan Banda Mulia •
Bandar Pusaka •
Bendahara •
Karang Baru •
Kejuruan Muda •
Kota Kuala
Simpang •
Manyak Payed •

KABUPATEN ACEH TAMIANG

Motto : Kaseh pape setie mati
Peta lokasi Kabupaten Aceh Tamiang
Koordinat: 03°53-04°32' LU dan 97°4
98°18' BT
Provinsi Aceh
Dasar hukum UURI Nomor 4 T
Tanggal 10 April 2002
Ibu kota Karang Baru
Pemerintahan
- Bupati Abdul Latief
- DAU Rp. 306.322.187
Luas 1.939 km²
Populasi
- Total 34.146 [2]
- Kepadatan 18
Demografi
- Kode area
telepon
0641
Pembagian administratif
- Kecamatan 12
- Kelurahan 128
- Situs web http://www.acehtamiang.com
Kabupaten Aceh Tamiang adalah salah
satu kabupaten di Provinsi Aceh,
Indonesia.
Kabupaten yang merupakan hasil
pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur
ini terletak di perbatasan Aceh-
Sumatera Utara. Istilah "Tamiang"
berasal dari kata Da Miang. Sejarah
menunjukkan tentang eksistensi
wilayah Tamiang seperti prasasti
Sriwijaya , kemudian ada riwayat dari
Tiongkok karya Wee Pei Shih yang
mencatat keberadaan negeri Kan Pei Chiang (Tamiang), atau
Tumihang dalam Kitab Nagar kretagama. Daerah
ini juga dikenal dengan nama Bumi
Muda Sedia , sesuai dengan nama Raja
Muda Sedia yang memerintah wilayah
ini selama 6 tahun (1330-1336). Raja
ini mendapatkan Cap Sikureung dan
hak Tumpang Gantung dari Sultan Aceh
atas wilayah Karang dan Kejuruan
Muda pada masa itu.
Kabupaten ini berada di jalur timur
Sumatera yang strategis dan hanya
berjarak lebih kurang 250 km dari Kota
Medan sehingga akses serta harga
barang di kawasan ini relatif lebih
murah daripada daerah Aceh lainnya.
Di samping itu, kawasan ini relatif lebih
aman semasa GAM berjaya dahulu.
Ketika seruan mogok oleh GAM
diberlakukan di seluruh Aceh, hanya
kawasan ini khususnya Kota Kuala
Simpang yang aktivitas ekonominya
tetap berjalan.
Potensi
Kabupaten Aceh Tamiang merupakan
kawasan kaya minyak dan gas, meski
jumlahnya tidak sebesar Kabupaten
Aceh Utara, dan kawasan ini juga
merupakan salah satu pusat
perkebunan kelapa sawit di Aceh. Di
samping itu, Aceh Tamiang juga
mengandalkan sektor angkutan karena
posisinya yang strategis, dan angkutan
air merupakan salah satu primadona
alternatif karena kabupaten ini dialiri
dua sungai besar yakni Sungai
Tamiang (yang terpecah menjadi
Simpang Kiri dan Simpang Kanan) dan
Sungai Kaloy. Kabupaten Aceh Tamiang
juga mengandalkan sektor pertanian,
industri pengolahan dan perdagangan.
Kabupaten Aceh Tamiang memiliki
beberapa tempat wisata yang hingga
saat ini perlu penataan yang serius dan
dikelola dengan baik. Air Terjun Tujuh
Tingkat, Bendungan, Gua Walet, Pantai
Seruway adalah beberapa contoh
tempat wisata di Aceh Tamiang yang
perlu mendapatkan perhatian untuk
dapat dikelola menjadi sumber
Pendapatan Asli Daerah.
Demografi
Kabupaten Aceh Tamiang merupakan
pecahan dari Kabupaten Aceh Timur
dan merupakan satu-satunya kawasan
di Aceh yang banyak bermukim etnis
Melayu (60%). Walaupun dalam jumlah
populasi suku Jawa (20%) lebih banyak
dibandingkan dengan etnis Melayu,
namun dalam pemerintahan orang
Melayu lebih dominan. Selain kedua
etnis tersebut, suku Aceh (15%) juga
banyak dijumpai di kabupaten ini. [3]
Pemerintahan
Bupati
Penjabat Bupati Ishak Djuned
menggantikan Abdul Latief yang
dilantik Gubernur Aceh Abdullah Puteh ,
tanggal 28 Agustus 2004. Bupati yang
sekarang adalah Abdul Latief bersama
wakilnya Awaluddin sebagai hasil
Pilkada untuk masa bakti 2007-2012.
Kecamatan
Banda
Mulia
Bandar
Pusaka
Bendahara
Karang
Baru
Kejuruan
Muda
Kota
Kuala
Simpang
Manyak
Payed
Rantau
Sekrak

PERSAHABATAN

...
Pagi hari saat aku terbangun tiba-tiba ada seseorang
memanggil namaku. Aku melihat keluar. Ivan temanku
sudah menunggu diluar rumah kakekku dia mengajakku
untuk bermain bola basket.“Ayo kita bermain basket ke
lapangan.” ajaknya padaku. “Sekarang?” tanyaku dengan
sedikit mengantuk. “Besok! Ya sekarang!” jawabnya
dengan kesal.“Sebentar aku cuci muka dulu. Tunggu ya!”,
“Iya tapi cepat ya” pintanya.
Setelah aku cuci muka, kami pun berangkat ke lapangan
yang tidak begitu jauh dari rumah kakekku.“Wah dingin
ya.” kataku pada temanku. “Cuma begini aja dingin payah
kamu.” jawabnya.Setelah sampai di lapangan ternyata
sudah ramai. “Ramai sekali pulang aja males nih kalau
ramai.” ajakku padanya. “Ah! Dasarnya kamu aja males
ngajak pulang!”, “Kita ikut main saja dengan orang-orang
disini.” paksanya. “Males ah! Kamu aja sana aku tunggu
disini nanti aku nyusul.” jawabku malas. “Terserah kamu
aja deh.” jawabnya sambil berlari kearah orang-orang
yang sedang bermain basket.“Ano!” seseorang teriak
memanggil namaku. Aku langsung mencari siapa yang
memanggilku. Tiba-tiba seorang gadis menghampiriku
dengan tersenyum manis.
Sepertinya aku mengenalnya. Setelah dia mendekat aku
baru ingat. “Bella?” tanya dalam hati penuh keheranan.
Bella adalah teman satu SD denganku dulu, kami sudah
tidak pernah bertemu lagi sejak kami lulus 3 tahun lalu.
Bukan hanya itu Bella juga pindah ke Bandung ikut orang
tuanya yang bekerja disana. “Hai masih ingat aku nggak?”
tanyanya padaku. “Bella kan?” tanyaku padanya. “Yupz!”
jawabnya sambil tersenyum padaku. Setelah kami ngobrol
tentang kabarnya aku pun memanggil Ivan. “Van! Sini”
panggilku pada Ivan yang sedang asyik bermain basket.
“Apa lagi?” tanyanya padaku dengan malas. “Ada yang
dateng” jawabku. “Siapa?”tanyanya lagi, “Bella!” jawabku
dengan sedikit teriak karena di lapangan sangat berisik.
“Siapa? Nggak kedengeran!”. “Sini dulu aja pasti kamu
seneng!”. Akhirnya Ivan pun datang menghampiri aku dan
Bella.
Dengan heran ia melihat kearah kami. Ketika ia sampai
dia heran melihat Bella yang tiba-tiba menyapanya.
“Bela?” tanyanya sedikit kaget melihat Bella yang sedikit
berubah. “Kenapa kok tumben ke Jogja? Kangen ya sama
aku?” tanya Ivan pada Bela. “Ye GR! Dia tu kesini mau
ketemu aku” jawabku sambil menatap wajah Bela yang
sudah berbeda dari 3 tahun lalu. “Bukan aku kesini mau
jenguk nenekku.” jawabnya. “Yah nggak kangen dong
sama kita.” tanya Ivan sedikit lemas. “Ya kangen dong
kalian kan sahabat ku.” jawabnya dengan senyumnya yang
manis.
Akhinya Bella mengajak kami kerumah neneknya. Kami
berdua langsung setuju dengan ajakan Bela. Ketika kami
sampai di rumah Bela ada seorang anak laki-laki yang
kira-kira masih berumur 4 tahun. “Bell, ini siapa?”
tanyaku kepadanya. “Kamu lupa ya ini kan Dafa! Adikku.”
jawabnya. “Oh iya aku lupa! Sekarang udah besar ya.”.
“Dasar pikun!” ejek Ivan padaku. “Emangnya kamu inget
tadi?” tanyaku pada Ivan. “Nggak sih!” jawabnya malu.
“Ye sama aja!”. “Biarin aja!”. “Udah-udah jangan pada
ribut terus.” Bella keluar dari rumah membawa
minuman. “Eh nanti sore kalian mau nganterin aku ke
mall nggak?” tanyanya pada kami berdua. “Kalau aku
jelas mau dong! Kalau Ivan tau!” jawabku tanpa pikir
panjang. “Ye kalau buat Bella aja langsung mau, tapi kalau
aku yang ajak susah banget.” ejek Ivan padaku. “Maaf
banget Bell, aku nggak bisa aku ada latihan nge-band.”
jawabnya kepada Bella. “Oh gitu ya! Ya udah no nanti
kamu kerumahku jam 4 sore ya!” kata Bella padaku. “Ok
deh!” jawabku cepat.
Saat yang aku tunggu udah dateng, setelah dandan biar
bikin Bella terkesan dan pamit keorang tuaku aku
langsung berangkat ke rumah nenek Bella. Sampai
dirumah Bella aku mengetuk pintu dan mengucap salam
ibu Bella pun keluar dan mempersilahkan aku masuk. “Eh
ano sini masuk dulu! Bellanya baru siap-siap.” kata beliau
ramah. “Iya tante!” jawabku sambil masuk kedalam
rumah.
Ibu Bella tante Vivi memang sudah kenal padaku karena
aku memang sering main kerumah Bella. “Bella ini Ano
udah dateng” panggil tante Vivi kepada Bella. “Iya ma
bentar lagi” teriak Bella dari kamarnya. Setelah selesai
siap-siap Bella keluar dari kamar, aku terpesona
melihatnya. “Udah siap ayo berangkat!” ajaknya padaku.
Setelah pamit untuk pergi aku dan Bella pun langsung
berangkat. Dari tadi pandanganku tak pernah lepas dari
Bella. “Ano kenapa? Kok dari tadi ngeliatin aku terus ada
yang aneh?” tanyanya kepadaku. “Eh nggak apa-apa kok!”
jawabku kaget.Kami pun sampai di tempat tujuan. Kami
naik ke lantai atas untuk mencari barang-barang yang
diperlukan Bella. Setelah selesai mencari-cari barang
yang diperlukan Bella kami pun memtuskan untuk
langsung pulang kerumah. Sampai dirumah Bella aku
disuruh mampir oleh tante Vivi. “Ayo Ano mampir dulu
pasti capek kan?” ajak tante Vivi padaku. “Ya tante.”
jawabku pada tante Vivi.Setelah waktu kurasa sudah
malam aku meminta ijin pulang. Sampai dirumah aku
langsung masuk kekamar untuk ganti baju. Setelah aku
ganti baju aku makan malam. “Kemana aja tadi sama
Bella?” tanya ibuku padaku. “Dari jalan-jalan!” jawabku
sambil melanjutkan makan. Selesai makan aku langsung
menuju kekamar untuk tidur. Tetapi aku terus
memikirkan Bella.
Kayanya aku suka deh sama Bella. “Nggak! Nggak boleh
aku masih kelas 3 SMP, aku masih harus belajar.” bisikku
dalam hati.Satu minggu berlalu, aku masih tetap
kepikiran Bella terus. Akhirnya sore harinya Bella harus
kembali ke Bandung lagi. Aku dan Ivan datang kerumah
Bella. Akhirnya keluarga Bella siap untuk berangkat.
Pada saat itu aku mengatakan kalau aku suka pada
Bella.“Bella aku suka kamu! Kamu mau nggak kamu jadi
pacarku” kataku gugup.“Maaf ano aku nggak bisa kita
masih kecil!” jawabnya padaku. “Kita lebih baik Sahabatan
kaya dulu lagi aja!”Aku memberinya hadiah kenang-
kenangan untuknya sebuah kalung. Dan akhirnya Bella
dan keluarganya berangkat ke Bandung. Walaupun sedikit
kecewa aku tetap merasa beruntung memiliki sahabat
seperti Bella. Aku berharap persahabatan kami terus
berjalan hingga nanti.

Photo Admin Blogs Ini Lho

Ass ...
Salam Kenal Buat teman-teman yang udah baca blogs ini,,," Admin Ucapin Ribuan Terima kasih buat yg udah mengikuti kisah perjalanan blogs ne,""??

O...Iy Bagi teman-teman yang udah mampir di blogs ini jangan lupa di like atau share ya,

""Insya allah kalau rame yang suka entar Admin share cerita/Kisah2 yg lebih seru lagi......

By. VJ Smart

Mengenang Sendok dan Sedotan

...
Di tengah sawah dan hotel mewah di Ubud, saat saya dan
beberapa rekan penulis diminta hadir oleh UNAIDS untuk
program pengenalan HIV/AIDS. Saya sempat bertanya dalam
hati: adakah titik balik di mana virus mematikan itu dapat
menjadi akselerator kehidupan? Dan 'hidup' dalam konteks ini
artinya bukan berapa lama kita bernapas, melainkan seberapa
bermakna kita mampu memanfaatkan hidup, mortalitas yang
berbatas ini? Momen serupa saya alami ketika menghadiri
peluncuran buku almarhumah Suzanna Murni, seorang aktivis
HIV/AIDS yang mendirikan Yayasan Spiritia.
Saya terenyak dan terhanyut membaca buku Suzanna.
Pertama, karena otentisitas dan kejujurannya. Kedua, karena
Suzanna adalah seorang penulis yang sangat bagus. Dan
kembali saya merenung, HIV bisa jadi hadiah terindah yang
didapat oleh Suzanna Murni. Dengan mengetahui keberadaan
bom waktu yang dapat menyudahi hidupnya setiap saat,
Suzanna menggunakan energi dan waktunya untuk
membangun, membantu, dan berkarya.
Sementara kebanyakan dari kita menjalani hari-hari seperti
mayat hidup yang bergerak tapi mati, ada dan tiada, tanpa
makna dan tujuan, tanpa menghargai keindahan dan
keajaiban proses bernama hidup. Saya lalu kembali dihubungi
oleh UNAIDS untuk menjadi mentor dalam program pelatihan
menulis bagi para ODHA. Dan di sinilah untuk pertama kalinya
saya berinteraksi dekat dengan teman-teman ODHA.
Sejujurnya, saya merasa tidak perlu mencantumkan
keterangan 'ODHA', yang seolah-olah memagari mereka
dengan saya atau dengan orang-orang lain. Sama halnya
seperti saya merasa tidak perlu mengatakan 'teman-teman
leukeumia' atau 'teman-teman hipertensi'. ODHA pasti mati,
saya yang bukan ODHA juga pasti mati. Bom waktu itu ada di
mana-mana. Kematian adalah jaminan, sebuah kepastian.
Caranya saja yang bervariasi, hasil akhir toh sama.
Di sebuah penginapan di Karang Setra, saya berkenalan
dengan empat peserta program mentoring. Saya mengamati
mereka satu per satu, yang kebetulan semuanya perempuan.
Satu bertubuh kecil mungil. Dua peserta lain posturnya jauh
lebih berisi ketimbang saya. Satu sedang mengandung enam
bulan. Tugas demi tugas mereka lakukan dengan cemerlang,
bahkan di luar dugaan. Hanya ada satu program yang kami
terpaksa batalkan: menulis di kebun binatang. Pada saat itu
isu flu burung sedang santer-santernya di kota Bandung, dan
demi keamanan kondisi kesehatan mereka, kami memutuskan
untuk tidak pergi. Barulah saya merasakan ada restriksi itu,
kondisi-kondisi khusus yang membedakan ruang gerak kami.
Selebihnya, tak terasa ada perbedaan sama sekali. Di luar dari
isi tulisan mereka, tidak ada kesedihan atau keputusasaan
yang terungkap.
Tak seperti reklame tentang ODHA yang selama ini beredar
dan mengeksploitasi ketidakberdayaan, terkapar kurus kering
kerontang menunggu ajal. Saya hanya berkenalan dengan
pergumulan mereka lewat apa yang mereka tulis. Dari sanalah
saya mencoba memahami beragam proses yang mereka
lewati dengan HIV, terutama implikasinya terhadap semua
yang mereka kenal keluarga, teman-teman, kekasih, dan
seterusnya. Saat kami mengobrol langsung, yang ada
hanyalah tawa. Dan saya tersadar, kekuatan itu bisa hadir
karena mereka tahu bahwa mereka tidak sendiri. Konseling,
penerangan, aktivitas, dan kebersamaan, dapat menyalakan
pelita dalam diri mereka untuk menjadi kekuatan dan bukan
menjadi yang terbuang.
Pada malam terakhir pelatihan, salah satu fasilitator
berulangtahun dan merayakannya di restoran di Dago Pakar.
Sebagaimana hari-hari mentoring, kami asyik mengudap
sambil menghadap ke lembah kota yang menyala pada malam
hari. Sambil mengobrol dan ketawa-ketiwi, kami mencicip-
cicip makanan dan minuman satu sama lain. Hingga kami
berpisah, saya kembali ke rumah, dan tiba-tiba telepon
genggam saya berbunyi. Sebuah pesan masuk: Mbak, makasih
ya buat malam ini. Kami terkesan sekali Mbak mau berbagi
sendok dan sedotan dengan kami karena ortu saja belum tentu
mau.
Terima kasih sudah menambah kepercayaan diri kami. Lama
saya terdiam, memikirkan apa gerangan yang telah saya
lakukan. Momen sepanjang di restoran itu rasanya berlalu
wajar-wajar saja. Lama baru saya ingat, dalam acara saling
coba-cobi tadi, saya telah menghirup minuman dari gelas
memakai sedotan yang mereka pakai, lalu mencicip es krim
dengan sendok yang mereka pakai. Lama saya termenung,
mengenang sedotan yang sekian detik mampir di bibir saya,
mengingat sendok yang sekian detik menghampiri lidah saya.
Betapa hal kecil yang saya lewatkan begitu saja ternyata
menjadi perbuatan besar dan berkesan di mata mereka. Dan
barangkali demikian pula halnya dengan rangkaian keajaiban
dalam hidup ini. Sering kita berjalan mengikuti arus tanpa
sempat lagi mengamati keindahan-keindahan besar yang
tersembunyi dalam hal-hal kecil yang kita lewati.
Kita menanti perbuatan-perbuatan agung yang tampak megah
dan melupakan bahwa dalam setiap tapak langkah ada
banyak kesempatan untuk melakukan sesuatu yang bermakna.
Jika saja virus itu tidak ada dalam darah mereka, perbuatan
spontan saya tidak akan berarti. Saya mungkin tidak akan
dikirimi pesan itu, dan saya tidak akan merenungi hal ini.
Pertanyaan saya di Ubud terjawab dengan sebuah
pengalaman. Pada satu titik, virus itu telah menyentuh hidup
saya. Menjadi akselerator kehidupan saya. Bukan untuk
memperlama denyut jantung, tapi mengajarkan saya bahwa
hidup itu amat berharga dan selalu kaya makna, andai saja
kita memilih untuk mengetahuinya. Suzanna Murni tahu hal itu.
Demikian pula para peserta mentoring tadi. Saya hanya
berharap mereka terus mengingatnya, demikian juga kita.
Pesan singkat itu dikirim tanggal 13 Mei 2006, dan masih saya
simpan hingga hari ini.

CINTA TAK BERTUAN

*##*
Sepanjang hidup, kita seolah tak berhenti berusaha
menaklukkan cinta. Cinta harus satu, cinta tak boleh dua, cinta
maksimal empat, dan seterusnya. Jika cinta matematis, pada
angka berapakah ia pas dan pada angka berapakah ia
bablas? Dan kita tak putus merumuskan cinta, padahal
mungkin saja cinta yang merumuskan kita semua. Infinit
merangkul yang finit. Hidup berpasangan katanya sesuai
dengan alam, seperti buaya yang hidup monogami tapi
ironisnya malah menjadi ikon ketidaksetiaan.
Namun terkadang kita melihat seekor jantan mengasuh sekian
banyak betina sekaligus, berparade seperti rombongan sirkus.
Dan itu pun ada di alam. Lalu ke mana manusia harus
bercermin? Sebagaimana semua terpecah menjadi dua kutub
dalam alam dualitas ini, terpecahlah mereka yang percaya
cinta multipel pastilah sakit dan khianat dengan mereka yang
percaya cinta bisa dibagi selama bijak dan bajik. Yang satu
bicara hukum publik dan nurani, yang satu bicara hukum
agama dan kisah hidup orang besar. Yang satu mengusung
komisi anti itu-ini, yang satu menghadiahi piala poligami.
Merupakan tantangan setiap kita untuk meniti tali
keseimbangan antara intuisi individu dan konsensus sosial.
Sukar bagi kita untuk menentukan dasar neraca yang
mensponsori segala pertimbangan kita: apakah ini urusan
salah dan benar, atau sebetulnya cocok dan tak cocok? Jika
urusannya yang pertama, selamanya kita terjebak dalam debat
kusir karena setiap orang akan merasa yang paling benar. Jika
urusannya yang kedua, masalah akan lebih cepat selesai.
Kecocokan saya bukan berarti kecocokan Anda, dan
sebaliknya. Namun seperti yang kita amati dan alami, lebih
sering kita memilih yang pertama agar berputar dalam debat
yang tak kunjung selesai. Semalam, saya menerima sms
massal yang mengatasnamakan ibu-ibu seluruh Indonesia
yang mengungkapkan kekecewaannya pada seorang tokoh
yang berpoligami. Pada malam yang sama, sahabat saya
menelepon dan kami mengobrolkan konsep poliamori
(hubungan cinta lebih dari satu). Alhasil, saya terbawa untuk
merenungi beberapa hal sekaligus.
Pertama, orang yang kita kenal sebatas persona memang
hanya kita miliki personanya saja. Persona adalah lapisan
informasi paling rapuh, pengenalan paling dangkal, dan oleh
karena itu paling cepat musnah. Orang yang tidak kita kenal
paling gampang untuk dijustifikasi ketimbang orang yang kita
kenal dekat.
Kedua, apakah monogami-poligami dan monoamori-poliamori
ini adalah sekat-sekat tegas yang menentangkan nurani
versus ego dan 'setia' versus 'buaya'? Mungkinkah dikotomi
itu sesungguhnya proses cair yang senantiasa berubah sesuai
tahapan yang dijalani seseorang, ketimbang karakteristik baku
yang harus dipilih atau distigmakan sekali seumur hidup?
Sungguh tidak mudah menjadi seseorang yang personanya
diklaim sebagai milik umat banyak. Persona seperti secabik
tisu yang dengan mudah dienyahkan, diganti dengan tisu baru
lainnya yang dianggap lebih bagus dan benar. Banyak dari kita
bermimpi dan berjuang mati-matian agar secabik diri kita
dimiliki banyak orang.
Hidup demikian memang sepintas menyenangkan dan
menguntungkan, meski konsekuensinya titian tali yang kita
jalani semakin tipis. Ilmu keseimbangan kita harus terus
diperdalam. Tali itu harus dijalani ekstra hati-hati. Tidak
mudah juga menjadi seseorang yang sangat teguh berpegang
pada persona orang lain, pada mereka yang dianggap tokoh,
teladan, panutan. Status selebriti bisa ada karena persona
yang dipabrikasi massal lewat media lalu 'selebaran'-nya
menjumpai kita, dan kita pungut. Kita mengoleksi persona
mereka seperti pemungut selebaran. Terkadang kita lupa,
pengenalan dan pemahaman kita hanya sebatas iklan yang
tertera. Oleh karenanya justifikasi yang kita lakukan seringnya
bagai memecah air dengan batu; sementara dan percuma
saja. Tak terasa efeknya bagi hidup kita, tak juga bagi hidup
yang bersangkutan.
Kita yang kecewa barangkali bukan karena cinta telah
diduakan. Cinta tak bertuan. Kitalah abdiabdi cinta, mengalir
dalam arusnya. Persepsi kitalah yang telah diduakan. Lalu kita
merasa sakit, kita merasa dikhianati. Namun tengoklah apa
yang sungguh-sungguh kita pegang selama ini. Perlukah kita
ikut berteriak jika yang kita punya hanyalah selebarannya saja,
bukan barangnya? Barangkali ini momen tepat untuk
mengevaluasi aneka selebaran yang telah kita kumpulkan dan
kita percayai mati-matian. Betapa seringnya kita hanyut dalam
kecewa, padahal persepsi kitalah yang dikecewakan. Betapa
seringnya kita menyalahkan pihak lain, padahal
ketakberdayaan kita sendirilah yang ingin kita salahkan.
Apapun persepsi kita atas cinta, tak ada salahnya bersiap
untuk senantiasa berubah. Jika hidup ini cair maka wadah
hanyalah cara kita untuk memahami yang tak terpahami.
Banyak cara untuk mewadahi air, finit mencoba merangkul
infinit, tapi wadah bukan segalanya. Pelajaran yang
dikandungnyalah yang tak berbatas dan selamanya tak
bertuan, yang satu saat menghanyutkan dan melumerkan
carik-carik selebaran yang kita puja. Siap tak siap, rela tak
rela.

2008 DI PINGGIR SELOKAN

***
Pagi menjelang siang tadi, anak laki-laki saya, Keenan, tiba-
tiba menarik tangan saya dan menggiring saya menuju sendal
capit yang terparkir di teras depan. Saya sudah hafal aktivitas
yang dia maksud, sekaligus rute perjalanan yang menanti
kami. Inilah acara jalan kaki yang kerap ia tagih, yakni satu
kali putaran ke jalan belakang dimana tidak ada rumah di
sana, hanya tanah kosong berilalang tinggi. Jalan itu menurun
dan curam, berbatu-batu besar dan banyak dahan berduri di
pinggir kiri-kanan.
Terakhir kami berjalan ke sana, kaki Keenan sempat luka
karena tersobek duri, tapi entah mengapa ia selalu memilih
jalur yang sama. Sejak sebelum kami berjalan kaki, saya
sudah mengamati pagi pertama tahun 2008 ini. Langit yang
berawan, angin yang bertiup kencang, dan meski matahari
bersinar cukup terang dan terlihat angkasa biru di balik
timbunan awan, saya tak bisa mengatakan bahwa ini pagi
yang cerah. Masih terasa jejak mendung peninggalan hujan
semalam. Kendati demikian, pagi ini pun tak bisa disebut pagi
yang mendung. Sambil berjalan, saya merenungi kesan-kesan
saya mengenai pergantian tahun kali ini. Ada keinginan kuat
untuk menuliskan sesuatu, semacam refleksi dan sejenisnya.
Tapi saya tak tahu harus memulai dari mana, harus menulis
apa.
Yang ada hanyalah keinginan menulis, tapi tanpa konten.
Sejujurnya, alam pagi hari ini cukup mewakili apa yang saya
rasakan. Saya melewati pergantian tahun ini dengan 'bu-abu'.
Tak melulu berspiritkan optimisme dan positivitas, tak juga
melulu pesimistis dan negativitas. Semuanya hadir bersamaan
dengan kadar yang kurang lebih seimbang, sehingga rasa
yang tertinggal di batin saya adalah... netral dan datar.
Berbeda dengan kebiasaan saya, terutama di usia 20-an, yang
selalu rajin bahkan mensakralkan kebiasaan menulis resolusi,
evaluasi, pengharapan dan impian, kali ini saya tak
berbekalkan apaapa. Tak ada resolusi, tak ingin mengevaluasi.
Harapan dan impian, yang biasanya kita bawa layaknya
tongkat estafet dalam pacuan panjang bernama hidup ini, kali
ini bahkan absen dari tangan saya. Cengkeraman jemari saya
rasanya tak cukup kuat untuk itu. Bukannya kedua hal itu tak
ada, tapi malas rasanya menggenggam. Yang ada hanyalah
langkah demi langkah kaki di jalanan berbatu, bertemankan
suara gesekan ilalang dan terik matahari yang kian menggigit
tengkuk.
Keenan pun menolak digenggam. Dengan semangat, ia
berjalan dengan gagah berani tanpa mau saya gandeng. Ia
sibuk mengumpulkan batu-batu yang pada akhir perjalanan
kami akan dicemplungkannya satu demi satu ke selokan.
Dengan kedua tangan penuh bongkah batu, ia berjalan sedikit
di depan saya. Tepat di turunan curam, tiba-tiba ia tergelincir
dan jatuh menengadah. Seketika ia menangis, kaget bukan
main. Semua batu di genggamannya lepas. Cepatcepat saya
meraih dan memeluknya. Saya melihat sekeliling, betapa
banyak batu besar yang bisa saja menjadi landasan kepalanya
saat jatuh tadi. Saya pun menyadari perjalanan kecil ini bisa
jadi perjalanan yang berbahaya. Sambil terisak, Keenan
mengucap sendiri, "Tidak apa-apa... Keenan tidak apa-apa."
Dan entah mengapa, respons saya padanya adalah, "Ya, tidak
apa-apa. Keenan sekali-sekali harus tahu rasanya jatuh." Lalu
kami berdua meneruskan perjalanan. Tak sampai tiga langkah,
ia sudah minta turun lagi dari gendongan saya.
Kembali berjalan sendiri, memunguti batu-batu baru, yang
pada akhir perjalanan kami dicemplungkannya satu demi satu
ke selokan. Saya menunggui Keenan berupacara di pinggir
selokan sambil merenungi perjalanan kami pada pagi hari
pertama tahun 2008 ini. Akhirnya saya mendapatkan sebuah
'pesan'. Terlepas dari kepercayaan kita pada sosok Tuhan
personal maupun impersonal, semua dari kita setidaknya
pernah merasakan hadirnya sebuah kekuatan, energi agung,
atau apapun itu, yang tak luput menemani setiap langkah
perjalanan hidup kita. Saat kita asyik berjalan, mengumpulkan
segala sesuatu yang kita ingin raih, kita tak terlalu
menghiraukan kehadiran 'sesuatu' itu. Namun saat kita
tergelincir dan terenyak luar biasa, segala sesuatu yang kita
cengkeram pun lepas.
Tangan kita kembali kosong. 'Sesuatu' itu akhirnya punya
kesempatan untuk muncul dan menyeruak, meraih tangan kita
yang sedari tadi sibuk menggenggam. Lama atau sekejap kita
didekap, selama perjalanan ini belum usai, tak urung kita akan
kembali melangkah. Mengumpulkan kembali pengalaman demi
pengalaman yang kita perlukan. Sambil berjongkok di pinggir
selokan, saya merenungi 'batu-batu' yang selama ini saya
genggam. Besar-kecil, jelek-bagus, semua itu saya kumpulkan
karena itulah yang saya perlukan. Jika hidup adalah siklus
berputar dalam satu pusaran, cukup relevan jika saya
menganalogikannya dengan trayek yang saya tempuh hampir
setiap hari bersama Keenan itu. Jalanan berselimut batu, yang
meski begitu sering saya jalani, tak pernah saya tahu batu
mana yang akan saya genggam berikutnya, dan batu mana
yang akan saya lepas sesudah ini.
Tak pernah juga saya tahu, kapan saya akan tergelincir dan
terpaksa melepaskan semua yang selama ini erat digenggam.
Sekalipun tahun baru ini saya songsong tanpa resolusi dan
evaluasi, ada satu keyakinan yang mengiringi langkah saya
pulang ke rumah pagi ini. Jika batu dalam genggaman tangan
saya lepas, berarti sudah saatnyalah ia lepas. Jika perjalanan
ini belum usai, maka kaki ini meski lelah dan penat akan
kembali terus melangkah. Jika saya tergelincir nanti, maka
sesuatu akan menyeruak muncul dari kekosongan, meraih
tangan saya yang hampa dan kembali membawa saya bangkit
berdiri.
Saya tak ingin memberinya nama. Saya tak ingin menjeratnya
dalam sebuah identitas. Yang saya tahu, saya bersisian
dengannya. Seperti partikel dengan gelombang. Seperti alam
material dan imaterial. Sedikit batu atau banyak batu,
melangkah cepat atau lambat, tergelincir atau terjerembap, ia
berjalan seiring dengan napas dan denyut saya. Ia
membutuhkan saya sama halnya dengan saya
membutuhkannya. Dan hanya dalam keheningan, kami berdua
hilang. Dalam keheningan, kami bersatu dalam ketiadaan.
Mendadak, adanya resolusi atau tidak, bukan lagi satu hal
signifikan. Mendadak, hari ini menjadi hari yang sama
berharganya sekaligus sama biasanya dengan hari-hari lain.

UNTUK SAHABAT

***
Ketika dunia terang, alangkah semakin indah jikalau ada
sahabat disisi. Kala langit mendung, begitu tenangnya jika
ada sahabat menemani. Saat semua terasa sepi, begitu
senangnya jika ada sahabat disampingku. Sahabat.
Sahabat. Dan sahabat. Ya, itulah kira-kira sedikit tentang
diriku yang begitu merindukan kehadiran seorang
sahabat. Aku memang seorang yang sangat fanatik pada
persahabatan.
Namun, sekian lama pengembaraanku mencari sahabat,
tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah
hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir
itu akan memudahkanku mencari sahabat.
Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam
orang disini belum juga bisa kujadikan sahabat. Tiga
tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam
menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang
abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap dalam tiga
tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan
sahabat. Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru
meninggalkanku kala ku membutuhkannya. “May, nelpon
yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir
kuanggap sahabat, Riea pada ‘sahabat’ku yang lain saat
kami di perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya,
‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris bawahi, dia tak
mengajakku.
Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun.
Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan
bersama. Huh, apalagi yang bisa kulakukan. Aku
melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan
tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah menghadapi
kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku selalu
merasa tak punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur
lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi kuanggap sahabat.
Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya.
Aku menutup wajahku dengan bantal. Tangis yang selama
ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak lagi terbendung.
Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak
juga sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri.
Sendiri dalam sepi begitu mengerikan. Apa kurangku
sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi
meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu
banyak pengorbanan yang kulakukan untuk sahabat-
sahabatku, tapi lagi-lagi mereka ‘menjauhiku’. “Faiy, lo
kenapa sih ? kok nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku
begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa, Vy,” aku
mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika
kumaknai. “Faiy, tau nggak ? tadi gue ketemu loh sama
dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita
tentang lelaki yang dia sukai. Aku tak begitu berharap
banyak padanya untuk menjadi sahabatku.
Kurasa semua sama. Tak ada yang setia. Kadang aku
merasa hanya dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu.
Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka
selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya, Lara
malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama
dia. Dia yamg dulu paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy
curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya,
dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah
mengapa mereka jadi menjauh begitu. “Yah, Vy. Jangan
merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku
menerawang,” Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu
bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu
menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga,
berarti jelas kita ngga ingat Dia,” kata-kata itu begitu saja
mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu
juga tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini
melupakanmu. Padahal Dia selalu bersamaku.
Tetapi aku masih sering merasa sendiri. Sedangkan Allah
setia bersama kita sepanjang waktu. Bodohnya aku. Aku
ngga pernah hidup sendiri. Ada Allah yang selalu
menemaniku. Dan seharusnya aku sadar, dua malaikat
bahkan selalu di sisiku. Tak pernah absen menjagaku.
Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Dia akan selalu
mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman. Malah
mendapat solusi. Silvy tiba-tiba memelukku. “Sorry
banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo
yang selalu nemenin gue, dengerin curhatan gue, ngga
pernah bete sama gue. Dan lo bisa ngingetin gue ke Dia.
Lo shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat kita
sebentar lagi berpisah…” Silvy tak kuasa menahan
tangisnya.
Aku merasakan kehampaan sejenak. Air mataku juga ikut
meledak. Akhirnya, setelah aku sadar bahwa aku ngga
pernah sendiri dan ingat lagi padaNya, tak perlu aku yang
mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’ pada seseorang.
Bahkan malah orang lain yang membutuhkan kita sebagai
sahabatnya. Aku melepaskan pelukan kami. “ Makasih ya,
Vy. Ngga papa koki kita pisah. Emang kalau pisah,
persahabatan bakal putus. Kalau putus, itu bukan
persahabatan,” kataku tersenyum. Menyeka sisa-sisa air
mataku. Kami tersenyum bersama. Persahabatan yang
indah, semoga persahabatan kami diridoi Allah. Sahabat
itu, terkadang tak perlu kita cari. Dia yang akan
menghampiri kita dengan sendirinya. Kita hanya perlu
berbuat baik pada siapapun. Dan yang terpenting, jangan
sampai kita melupakan Allah. Jangan merasa sepi. La
takhof, wala tahzan, innallaha ma’ana..Dia tak pernah
meninggalkan kita. Maka jangan pula tinggalkannya.