Senin, 10 Desember 2012

ANAK RANTAU [Part-1]

Karya : Putroe Bendahara
Fb    .  : vjii1985@ymail.com
Twitt. :vjsmart@ymail.com

Akhirnya sampai juga di kota banda aceh,"dengan senyum dan penuh harapan, sambil perlahan-lahan melangkah turun dari dalam bus yang di tumpanginya,pemuda ini berharap kalau kota banda aceh ini akan merubah hidupnya.

Sebelumnya,kenalkan nama saya rahmad,lahir 06 agustus 1988,saya tergolong orang yang pendiam tidak banyak bicara kalau tidak terlalu penting,saya awalnya kerja di aceh tamiang di salah satu tempat wisata di aceh tamiang yaitu taman air atau lebih di kenal dengan nama Water Boom/Kolam Renang,""???
Saya sering di panggil oleh teman-teman Dengan sebutan "amex",sekarang saya di kota banda aceh ingin mencari suasana baru dan saya sudah lama berhenti bekerja di kolam renang.

Sebulan sudah saya di kota banda aceh tapi belum ada pekerjaan yang saya dapatkan,sementara uang di kantong sudah menipis,""saya sempat berfikir "ternyata tak segampang yang ku bayangkan mencari kerja di kota banda aceh",
Tapi aku gak putus asa untuk semuanya,"aku yakin aku pasti akan dapat pekerjaan""itu lah yang aku katakan dalam hati.
Hari demi hari terus aku jalani di kota yang panas ini,kota banda aceh ini terkenal dengan panasnya karna kota banda aceh di kelilingi laut.

Satu bulan setengah tlah berlalu namun belum juga dapat pekerjaan,sementara uang di kantong pun sudah habis total,
Aku bingung apa yg harus aku lakukan lagi,sementara di kota banda aceh tidak banyak yang aku kenal,aku memilih untuk tinggal bersama keluarga orang tua ku di kampung ketapang,tepatnya di kompleks prumnas.

Satu hari sudah aku tinggal dirumah ini,semua terlihat biasa saja,sepertinya mereka semua senang aku tinggal disini,tapi kalau dari sudut pandanganku ada yang janggal dari salah satu yang tinggal dirumah ini,tapi aku berfikir "ah ini mungkin perasaanku saja yang gak enak" kata dalam hatiku.
Uang sudah habis,tapi belum dapat kerja,itu lah gumam ku,"esok paginya ak bantu-bantu wawakku bersihkan becaknya,anaknya bekerja narik becak motor,kebetulan hari ini tidak narik,rencananya sih mau betulin apa kerusakannya sekaligus service mesin,jadi aku coba membantunya dari pada gak ada kerjaan.

Akhirnya selesai juga,tiba-tiba hpku pun berdering ternyata temanku yang menelpon dan tanya-tanya kabar dan dia tanya tentang aku udah dapat kerjaan apa belum,dan aku menjawab belum ada,
Akhirnya dia nawarin kerjaan di salah satu rumah makan di banda aceh,kata nya sih ada temannya di rumah makan itu,akhirnya aku mau dan menanyakan syarat-syaratnya,ke esokan harinya aku langsung buat surat lamaran kerja dan foto copy ijazah dan ktp,sorenya langsung aku antarkan ke rumah makan tersebut.
Sehabis shalat magrib tiba-tiba ada sms masuk begitu aku buka ternyata isinya" ""Kepada Bapak Rahmad Besok datang kesimpang tiga lamteumen Jam 12.00 wib,Untuk interview dengan memakai baju putih, celana hitam, dan sepatu hitam,"" itu lah isi sms nya.

""Alhamdulillah bisa dapat kerja juga"", kataku dalam hati. Paginya aku sempat berfikir naik apa pergi kesana,tapi anak wawak tanya "jam berapa interview nya", tanya nya agak serius. "Jam 12 siang", jawabku sedikit bingung."oh bawa ja kreta supra tu,awak gak pakek kok", katanya, memberikan izin pinjam kretanya. Aku hanya mengangguk saja,sekitar jam 11.30 aku keluarkan speda motor nya dan memanasi sejenak mesinnya,dan aku langsung pergi mandi,setelah itu aku langsung pergi ke rumah makan tersebut untuk interview,sesampai di tempat tersebut akhirnya aku tanyakan salah satu karyawan,""mau interview ya bang,tunggu aja di situ", kata karyawan tersebut.

Lama juga aku menunggu orang yang akan interview aku,tapi gak lama kemudia ada seseorang yang menghampiri ku,"kamu yang namanya rahmad ya", kata seseorang tersebut. "Iya bang", jawabku agak heran. "yok masuk keruangan "v.i.p",katanya sembari mengajak. dan aku langsung ikut dari belakang sambil berjalan""??,
Satu jam berlalu interview selesai dan aku di terima bekerja,dan hari itu juga adalah hari pertama aku bekerja,aku agak sedikit kaku karna mungkin belum terbiasa,"maklum lah namanya juga anak baru jadi belum tau suasana dan kondisi kerjanya.

Senin, 03 Desember 2012

WALI NANGGROE ATAU WALI NEGARA

MEMBACA beberapa tulisan yang
mengulas tentang Wali Nanggroe
termasuk pandangan beragam yang
berkembang selanjutnya yang
dinisbahkan kepada Tgk Hasan Tiro, saya
ingin menambahkan informasi mengenai
makna kata “Wali Nanggroe” itu sendiri
yang cenderung a historis karena tidak
merujuk pada buku atau tulisan Tgk
Hasan Tiro itu sendiri dimana beliau tidak
pernah mengatakan sebagai Wali
Nanggroe melainkan sebagai Wali Negara.
Secara singkat, padat dan hematnya sbb:
Sepengetahuan saya, kata “Wali
Nanggroe” dengan “Wali Negara” adalah
berbeda maknanya. Sebutan “Wali
Nanggroe” tidak lepas dari konteks
sejarah Aceh, sehingga kata “Nanggroe”
bukan bahasa Aceh terjemahan yang tepat
untuk “Negara”, karena kata “Negara”
bahasa Acehnya adalah “Neugara”,
sedangkan kata “Negeri” dalam bahasa
Aceh adalah “Nanggroe” (Kamus
Indonesia-Aceh, oleh M Hasan Basri, hlm
626, Yayasan Cakra Daru 1994).
Istilah tersebut dalam konteks sejarah
Aceh lebih jelas jika seandainya
dipahamkan kedalam bahasa Inggris
Head of state untuk Wali Negara dan
Guardian untuk Wali Nanggroe. Contoh
lainnya, kata “Wali Negara” dan “Wali
Nanggroe” hampir sama kata namun
berbeda maknanya, seperti kata Country
dan County dalam bahasa Inggris.
Almarhum Tgk Hasan di Tiro sendiri tidak
pernah mengatakan dirinya sebagai Wali
Nanggroe melainkan sebagai Wali Negara
sejak 1976. (Sumber: buku The Price of
Freedom: The Unfinished Diary of Tgk
Hasan di Tiro, kolom The Genealogy of the
Tengku Chik di Tiro, hlm. 141 dan juga
terjemahan buku Jum Meurdéhka,
Seuneurat Njang Gohlom Lheuëh pada
kolom yang sama).
Silsilah sebagai Wali Negara tersebut
sebagai berikut: 1. Tgk Sjech Muhammad
Saman (1874-1891) 2. Tgk M Amin
(1891-1896) 3. Tgk Bèd/Ubaidullah
(1896-1899) 4. Tgk. Lambada
(1899-1904) 5. Tgk Mahjeddin
(1904-1910) 6. Tgk Ma’at (1910-1911) 7.
Tgk M Hasan (1976-2010).
Sedangkan informasi yang terdapat
dalam buku beliau yang lain di antaranya,
Acheh - New Birth of Feedom yang
diterbitkan oleh parlemen Inggris House of
Lords, 1 Mei, 1992, dalam appendix II,
nama Tengku Hasan di Tiro termaktub
sebagai penguasa (ruler) Aceh yang ke-41
yang dimulai pada Sultan Ali Mughayat
Syah (1500-1530) sampai kepada dirinya
(1976-2010). Sekali lagi, dari semua
tulisan buku beliau, almarhum Tgk Hasan
di Tiro cendrung mengatakan kalau
dirinya sebagai Wali Negara bukan Wali
Nanggroe.
Sedikit tambahan, sebutan Wali Negara
juga pernah dialami oleh Tgk Daud
Beureuéh saat mendirikan gerakan Darul
Islam, yang berlanjut pada pendirian
Republik Islam Aceh (RIA), namun suksesi
Wali Negara setelah beliau almarhum
tidak berlanjut. Hampir sama kejadiannya,
sejak Tgk Hasan di Tiro wafat, belum ada
seorang pun, baik yang berasal dari
keturunan keluarga di Tiro maupun
bukan, yang mengklaim dirinya sebagai
pengganti Wali Negara.
Penurunan makna pemahaman kata Wali
Negara menjadi Wali Nanggroe serupa
seperti pemaksaan kata Aceh yang
beridentitas sebagai sebuah bangsa kini
menjadi sebuah suku, padahal suku di
Aceh itu misalnya Suku Alas, Aneuk
Jamee, Gayo, Gayo Luwes, Kluet,
Simeulue, Singkil, Tamiang.
Seyogyanya, opini yang berkembang
menyangkut kontroversial klaim
seseorang sebagai Wali Nanggroe ke 9
perlu dikaji ulang menurut sejarah Aceh
atau referensi dari buku karya Tgk Hasan
Di Tiro. Demikian juga, patut
dipertanyakan atas dasar hukum apa,
oleh siapa, di mana dan kapan Malik
Mahmud diangkat langsung sebagai Wali
Nanggroe ke-9 sedangkan dalam
berhitung saja dimulai dengan angka 1,
bukan 9.
Dalam dinamika politik, informasi yang
diulang-ulang dalam kehidupan sehari-
hari meskipun keliru akan menjadi sebuah
kebenaran, meskipun ditoreh sebagai
bagian dalam sejarah. Walaupun
demikian, tidak boleh menjadi sebuah
justifikasi fakta karena sembari mengutip
para mubaligh yang sering mengatakan
“Qul al haqq wa law kana
murran” (Katakan yang benar walaupun
pahit--akibatnya).

PERSAHABATAN SUNYI

DI sebuah jembatan penyeberangan tak beratap, matahari
menantang garang di langit Jakarta yang berselimut karbon
dioksida. Orang-orang melintas dalam gegas bersimbah peluh
diliputi lautan udara bermuatan asap knalpot. Lelaki setengah
umur itu masih duduk di situ, bersandarkan pagar pipa-pipa
besi, persis di tengah jembatan. Menekurkan kepala yang
dibungkus topi pandan kumal serta tubuh dibalut busana
serba dekil, tenggorok di atas lembaran kardus bekas air
kemasan. Di depannya sebuah kaleng peot, nyaris kosong dari
uang receh logam pecahan terkecil yang masih berlaku. Dan,
di bawah jembatan, mengalir kendaraan bermotor dengan
derasnya jika di persimpangan tak jauh dari jembatan itu
berlampu hijau. Sebaliknya, arus lalu lintas itu mendadak
sontak berdesakan bagai segerombolan domba yang terkejut
oleh auman macan, ketika lampu tiba-tiba berwarna merah.
Lelaki setengah umur yang kelihatan cukup sehat itu akan
"tutup praktik" ketika matahari mulai tergelincir ke Barat.
Turun dengan langkah pasti menuju lekukan sungai hitam di
pinggir jalan, mendapatkan gerobak dorong kecil beroda besi
seukuran asbak. Dari dalam gerobak yang penuh dengan
buntelan dan tas-tas berwarna seragam dengan dekil
tubuhnya, ia mencari-cari botol plastik yang berisi air entah
diambil dari mana, lalu meminumnya. Setelah itu ia bersiul
beberapa kali. Seekor anjing betina kurus berwarna hitam
muncul, mengendus-endus dan menggoyang-goyangkan
ekornya. Ia siap berangkat, mendorong gerobak kecilnya
melawan arus kendaraan, di pinggir kanan jalan. Anjing kurus
itu melompat ke atas gerobak, tidur bagai anak balita yang
merasa tenteram di dodong ayahnya.
Melintasi pangkalan parkir truk yang berjejer memenuhi
trotoar, para pejalan kaki terpaksa melintas di atas aspal
dengan perasaan waswas menghindari kendaraan yang
melaju. Lelaki itu lewat begitu saja mendorong gerobak
bermuatan anjing dan buntelan-buntelan kumal miliknya
sambil mencari-cari puntung rokok yang masih berapi di
pinggir jalan itu, lalu mengisapnya dengan santai. Orang-
orang menghindarinya sambil menutup hidung ketika
berpapasan di bagian jalan tanpa tersisa secuil pun pedestrian
karena telah dicuri truk-truk itu.
Lelaki setengah umur itu memarkir gerobak kecilnya di bawah
pokok akasia tak jauh setelah membelok ke kanan tanpa
membangunkan anjing betina hitam kurus yang terlelap di
atas buntelan-buntelan dalam gerobak itu. Ia menepi ke
pinggir sungai yang penuh sampah plastik, lalu kencing begitu
saja. Ia tersentak kaget ketika mendengar anjingnya terkaing.
Seorang bocah perempuan ingusan yang memegang
krincingan dari kumpulan tutup botol minuman telah
melempari anjing itu. Lelaki itu berkacak pinggang, menatap
bocah perempuan ingusan itu dengan tajam. Bocah
perempuan ingusan itu balas menantang sambil juga berkacak
pinggang. Anjing betina hitam kurus itu mengendus-endus di
belakang tuannya, seperti minta pembelaan.
Lelaki itu kembali mendorong gerobak kecilnya dengan bunyi
kricit- kricit roda besi kekurangan gemuk. Anjing betina kurus
berwarna hitam itu kembali melompat ke atas gerobak,
bergelung dalam posisi semula. Bocah perempuan yang
memegang krincingan itu mengikuti dari belakang dalam jarak
sepuluh meteran. Bayangan jalan layang tol dalam kota,
melindungi tiga makhluk itu dari sengatan matahari.
Sementara lalu lintas semakin padat, udara semakin pepat
berdebu.
Tiba-tiba, lelaki setengah umur itu membelokkan gerobak
kecilnya ke sebuah rumah makan yang sedang padat
pengunjung. Dari jauh, seorang satpam mengacung-acungkan
pentungannya tinggi-tinggi. Lelaki itu seperti tidak
memedulikannya, terus saja mendorong hingga ke lapangan
parkir sempit penuh mobil di depan restoran itu. Sepasang
orang muda yang baru saja parkir hendak makan, kembali
menutup pintu mobilnya sambil menutup hidung ketika lelaki
itu menyorongkan gerobaknya ke dekat mobil sedan hitam itu.
Seorang pelayan rumah makan itu berlari tergopoh- gopoh
keluar, menyerahkan sekantong plastik makanan pada laki-laki
itu sambil menghardik.

"Cepat pergi!"

LELAKI setengah umur itu menghentikan gerobak kecilnya di
depan sebuah halte bus kota. Mengeluarkan beberapa koin
untuk ditukarkan dengan beberapa batang rokok yang dijual
oleh seorang penghuni tetap halte itu dengan gerobak
jualannya. Orang-orang yang berdiri di dekat gerobak rokok itu
menghindar tanpa peduli. Halte itu senantiasa ramai karena
tak jauh dari situ ada satu jalur pintu keluar jalan tol yang
menukik dan selalu sesak oleh mobil-mobil yang hendak
keluar. Lelaki itu meneruskan perjalanannya menuju kolong
penurunan jalan layang tol itu. Meski berpagar besi, telah lama
ada bagian yang sengaja dibolongi oleh penghuni-penghuni
kolong jalan layang itu untuk dijadikan pintu masuk. Tempat
lelaki setengah umur itu di pojok yang rada gelap dan
terlindung dari hujan dan panas. Dari dulu tempatnya di situ,
tak ada yang berani mengusik. Kecuali beberapa kali ia
diangkut oleh pasukan tramtib kota, lalu kemudian dilepas dan
kembali lagi ke situ. Ia lalu membongkar isi gerobaknya,
mengeluarkan lipatan kardus dan mengaturnya menjadi tikar.
Anjing betina berwarna hitam kurus itu mengibas-ngibaskan
ekornya ketika lelaki itu mengambil sebuah piring plastik dari
dalam buntelan, lalu membagi makanan yang didapatnya dari
rumah makan tadi. Keduanya makan dengan lahap tanpa
menoleh kanan-kiri.
Bocah perempuan ingusan itu berdiri dari jauh di bawah
kolong jalan layang itu, memandang dengan rasa lapar yang
menyodok pada dua makhluk yang sedang asyik menikmati
makan siang itu. Ia memberanikan dirinya menuju kedua
makhluk itu, lalu bergabung makan dengan anjing betina
berwarna hitam kurus itu. Ternyata anjing betina itu penakut.
Ia menghindar dan makanan yang tinggal sedikit itu
sepenuhnya dikuasai bocah perempuan itu dan ia melahapnya.
Sedang lelaki setengah umur itu tidak peduli, meneruskan
makannya hingga licin tandas dari daun pisang dan kertas
coklat pembungkus. Mengeluarkan sebuah botol air kemasan
berisi air, meminumnya separuh. Tanpa bicara apa- apa,
bocah perempuan ingusan itu menyambar botol itu dan
meminumnya juga hingga tandas. Lelaki setengah umur itu
hanya memandang, sedikit terkejut, tapi tidak bicara apa-apa.
Air mukanya tawar saja. Mengeluarkan rokok dan
membakarnya sambil bersandar pada gerobak kecilnya.
Tergeletak tidur setelah itu di atas bentangan kardus kumal.

MALAM telah larut. Bocah perempuan ingusan itu terbirit-birit
dikejar gerimis yang mulai menghujan. Rambutnya yang nyaris
gimbal itu kini melekat lurus-lurus di kulit kepalanya disiram
gerimis. Bunyi krincingan dan kresek-kresek kantong plastik
yang dibawanya membangunkan anjing betina kurus berwarna
hitam itu. Ia menyalak sedikit, kemudian merungus setelah
dilempari sepotong kue oleh bocah itu. Lewat penerangan
jalan, samar- samar dilihatnya lekaki setengah umur itu tidur
bergulung bagai angka lima di atas kardus. Setelah melahap
kue, anjing itu kembali tidur di sebelah tuannya, di atas
bentangan kardus yang tersisa.
Bocah itu mengeluarkan lilin dan korek api dari dalam kantong
plastik. Berkali-kali menggoreskan korek api, padam lagi oleh
tiupan angin bertempias. Lalu ia mendekat ke arah lelaki
setengah umur itu agar lebih terlindung oleh angin dan
berhasil menyalakan lilin. Bocah itu melihat ujung lipatan
kardus tersembul dari dalam gerobak kecil di atas kepala lelaki
setengah umur itu. Ia berusaha menariknya keluar tanpa
menimbulkan suara berisik dan membangunkan lelaki itu.
Setelah berhasil, ia membaringkan dirinya yang setengah
menggigil karena pakaiannya basah. Merapat pada tubuh
lelaki yang memunggunginya itu, sekadar mendapatkan
imbasan panas dari tubuh lelaki itu.
Bocah perempuan ingusan itu cepat terlelap dan bermimpi
berperahu bersama anjing betina kurus berwarna hitam itu di
sebuah danau yang sunyi. Deru mesin mobil yang melintasi
jembatan beton di atas mereka justru menimbulkan rasa
tenteram, rasa hidup di sebuah kota yang sibuk. Lelaki
setengah umur itu juga sedang bermimpi tidur dengan
seorang perempuan. Ketika ia membalikkan badannya, ia
menangkap erat-erat tubuh bocah yang setengah basah itu
dan melanjutkan mimpinya.
Sebelumnya, kolong penurunan jalan layang tol itu cukup
padat penghuninya di malam hari. Beberapa anak jalanan
yang sehari- hari mengamen di sepanjang jalan bawah, juga
bermalam di situ. Ada lima anak jalanan laki-laki yang selalu
menjahili bocah perempuan yang selalu membawa krincingan
itu sampai menangis berteriak-teriak. Lelaki setengah umur itu
membiarkannya saja. Mungkin menurutnya sesuatu yang
biasa-biasa saja, meskipun anak-anak lelaki itu sampai-
sampai menelanjangi bocah perempuan ingusan itu. Penghuni
lain pun tak ada yang berani membela. Sejak itu, bocah
perempuan ingusan itu menghilang, entah tidur di mana.
Lelaki setengah umur itu mulai marah ketika suatu hari ia
membawa seekor anjing betina kurus berwarna hitam ke
markasnya. Mungkin anjing itu kurang sehat hingga
semalaman anjing itu terkaing-kaing. Lelaki itu tampak
berusaha keras mengobati anjing itu dengan menyuguhkan
makanan dan air. Tapi, anak-anak jalanan yang jahil itu
melempari anjing itu dengan batu. Salah satu batunya
mengenai kepala lelaki itu. Lelaki itu meradang, lalu
mengambil golok di dalam timbunan buntelan dalam gerobak
kecilnya. Anak-anak itu dikejarnya. Konon salah seorang
terluka oleh golok itu. Namun, mereka tak ada yang berani
melawan dan tak berani kembali lagi.
SEBELUM subuh, pasukan tramtib itu datang lagi, lengkap
dengan polisi dan beberapa truk dengan bak terbuka
pengangkut gelandangan. Sebelum matahari muncul, kolong-
kolong jembatan dan jalan layang harus bersih dari manusia-
manusia kasta paling melata itu. Mimpi lelaki itu tersangkut
bersama gerobaknya di atas bak truk. Begitu juga bocah
perempuan itu. Lelaki setengah umur itu menggapai-gapaikan
tangannya, minta petugas menaikkan anjingnya yang
menyalak-nyalak, minta ikut bersama tuannya. Tapi, sebuah
pentungan kayu telah mendarat di kepala anjing kurus itu
hingga terkaing-kaing, berlari ke seberang jalan dan hilang
ditelan kegelapan.
"Mampus kau, anjing kurapan!" sumpah petugas itu sambil
melompat ke atas truk yang segera berangkat.
Bak truk terbuka itu nyaris penuh, termasuk tukang rokok di
halte dekat situ. Lelaki setengah umur itu tampak geram.
Matanya mencorong ke arah petugas yang memegang
pentungan. Petugas itu pura-pura tidak melihat. Hujan telah
berhenti. Iringan truk yang penuh manusia gelandangan kota
yang dikawal mobil polisi bersenjata lengkap di depannya,
menuju ke suatu tempat arah ke Utara, dan kemudian
membelok ke kanan. Dari pengeras suara di puncak-puncak
menara masjid terdengar azan subuh bersahut-sahutan. Bulan
semangka tipis masih menggantung di langit, kadang-kadang
tertutup awan yang bergerak ke Barat.
BEBERAPA minggu kemudian, pelintas jembatan
penyeberangan yang beratap itu, kembali menemukan lelaki
setengah umur itu berpraktik di tempat sebelumnya. Ia baru
turun mengemasi kaleng peot dan alas kardusnya ketika
matahari mulai tergelincir ke Barat. Melangkah dengan pasti,
menuju tempat gerobak kecilnya ditambatkan.
Di depan pangkalan truk yang telah menyempitkan jalan, lelaki
itu mendorong gerobak kecilnya dengan santai sambil
mengawasi puntung-puntung rokok yang masih berapi
dilempar sopir-sopir truk ke jalan. Ada yang sengaja
melemparkan puntung rokoknya ketika laki- laki bergerobak itu
melintas. Di atas gerobaknya, kini bertengger bocah
perempuan ingusan itu sambil terus bernyanyi dengan iringan
krincingannya. Orang-orang tak ada yang peduli.**

MATA YANG BERLABUH

Karya: Putroe Bendahara

Matahari kelabu. Udara bisu.Tak ada
suara lengkingan renyai yang menyeruak
seperti biasanya setiap kali ia jejakkan
kaki di daratan yang berpasir. Tidak pula
suara perempuan yang lantang, yang
dengan lari-lari kecilnya, menghalau anak
yang berlarian di depannya itu dari air
laut yang merambati kaki mereka.
semuanya telah menghilang.
Tapi masih ada yang belum ditemukan.
Karena itu, Abdullah, laki-laki yang
berjalan terseok itu, terus mencari-cari.
Tangannya telah lelah, hampir tak
sisakan tenaga. Tapi gelombang di
dadanya lebih besar daripada kehendak
tubuhnya. Ia paksakan kakinya
melangkah meski nyeri mulai menusuk
pada memar kakinya.
Abdullah hentikan langkah. Layangkan
matanya pada langit. Ia tidak tahu lagi
apakah ini siang atau malam. Waktu telah
berhenti sejak peristiwa itu. Tapi ia butuh
waktu untuk mengais sisa tenaganya.
Lalu apa yang masih menggerakkannya?
Tubuh? Tidak. Tubuh itu sudah tidak
berfungsi lagi. Namun, kalau pun kaki itu
harus dicabut dari tungkainya, Abdullah
akan terus berjalan. Semuanya memang
telah sirna. Tapi masih ada yang
tertinggal. Karena itu, ia masih mencari.
Sepanjang beberapa depa, Abdullah
kembali menghentikan langkah. Kakinya
dilanda nyeri. Seribu semut merah seperti
menggigiti urat kakinya. Abdullah
Memijit-mijitnya dengan perlahan. Hanya
istirahat sejenak. Sebab sesudahnya,
dengan rasa sakit yang masih menyisa,
Abdullah berjalan kembali.
Mungkin rasa sakit itu sudah hilang.
Bersama tumpahan air mata yang
membanjir berhari-hari sebelumnya
hingga tak menyisa. Meskipun ia minum
seluruh air laut di Pantai Ulee Lheu, itu
takkan bisa menggantinya. Abdullah pun
telah menghapus air mata itu dalam
catatan di darahnya. Seperti beku telah
membungkus hatinya. Hanya dengan
mata ia berjalan. Mata yang
gelap.Berhari-hari yang lalu, Abdullah
telah jelajahi seluruh tempat. Puing-puing
yang luruh. Mayat-mayat yang serak. Ada
tetangganya, teman melaut, teman
anaknya yang sering menunggui kapal
ikan datang, penjaga surau kampung.
Namun ia tak ada di sana. Karena itu,
Abdullah terus mencari.''Sudahlah,
Abdullah. Istirahatlah sejenak. Badanmu
sudah letih.''
Ia tidak begitu awas, apakah itu suara
istrinya atau tetangganya.
''Nanti saja.
Aku selesaikan dulu pekerjaan ini. Nanti
aku kembali.''
Tidak. Ia telah berbohong pada istrinya.
Kembali? Aku belum menemukan yang
kucari, maka aku tidak akan kembali.
Lagipula kemana aku akan kembali?
Abdullah menggeleng-gelengkan
kepalanya. Tak kan ada langkah surut,
suara hati Abdullah kuatkan
langkahnya.Istrinya memang memahami
sikapnya. Batu yang keras itu tak akan
mudah dilebur dalam satu pukulan
kampak.''Anakmu sudah menanti.
Mengapa engkau masih tak tahu juga,
Abdullah. Bukankah engkau tahu mereka
sudah menantimu untuk makan
siang.''Sedetik tubuh Abdullah mengeras.
Matanya tajam menentang ke atas. Ada
yang dicarinya di sana. Tapi tak ada apa-
apa. Langit tak biru.
Merah memantul dari lensa matanya.
Hanya angin yang berkesiur. Selebihnya
tak ada.
''Nantilah. Nanti saja. Aku belum ingin
pulang.''
''Apa yang kau cari, wahai Abdullah? Kau
tak turuti anjuran istrimu.
Mengapa engkau masih bengal juga,
Abdullah!
''Itu suara ayahnya. Suaranya keras,
seperti dirinya. Abdullah tak peduli.
''Kemana engkau akan pergi, anakku?''
perempuan yang matanya kelabu
memanggilnya serupa angin.''Tak usah
hiraukan aku, Bu.''Abdullah terus
berjalan. Kakinya yang menyusut dari
waktu ke waktu dan makin kehilangan
daya tak mampu kalahkan kehendaknya.

Mayat-mayat bergelimpangan seperti rongsokan. Bau sengat
yang mengundang kerumunan lalat menggunduk di setiap
setiap tempat. Tapi Abdullah tak hiraukan itu. Matanya yang
berpijar merah melata, susuri setiap mayat yang
bergelimpangann itu. Tangannya mengorek satu demi satu
mayat yang terhampar di kakinya.
''Ia tak ada di sana !''
Ibunya berseru. Rambut peraknya berkeriyap dihembus angin.
Abdullah tidak ingin mendengar. Kakinya terus ia seret.
''Pulanglah, Abdullah. Maka kau akan menemukannya,'' suara
ibunya memanggil lagi. Langkahnya makin melata. Seluruh
sendi-sendi kakinya bergetar, merambat ke engsel tubuhnya.
Tapi Abdullah tak mau mengalah pada keadaan tubuhnya. Ia
seret kakinya dengan sisa tenaga. Jalan ibarat pasir yang
menusuk luka di tubuhnya. Serakan mayat itu masih
bergelimpangan di kanan-kiri. Halangi langkah tubuhnya yang
makin ringkih. Mata-mata mereka membuka. Seperti hendak
menyampaikan pesan pada Abdullah.
''Sudahlah, Abdullah. Pulanglah ke rumah.''
Abdullah singkirkan suara-suara itu dari udara. Langit
menjadi-jadi bekunya. Hanya ada suaranya yang mengapai-
gapai udara. Ia hampir kehilangan keseimbangan ketika kaki
kanannya menabrak tubuh yang membujur. Tubuhnya
mencoba menahan lengkung badannya yang hampir jatuh ke
tanah. Tapi bumi seperti ingin memeluknya dan
merengkuhnya. Berat badannya condong ke tanah.
Bunyi berdebam memecah sunyi ketika tubuhnya yang labil
menimpa mayat itu. Mata yang putih. Seperti daun jendela
yang membuka lebar. Menyeret Abdullah masuk dan terhisap
ke dalamnya. Mata yang berkata. Mengapa kau tak yakin ini
semua, Abdullah. Kemana kau campakkan imanmu itu.
Pulanglah. Kembalilah ke rumahmu.
Abdullah menggeram.
Diamlah. Semuanya sudah kosong. Hambur oleh angin yang
membawa pergi. Hanya satu yang masih tersisa. Aku sedang
mencarinya dan ingin membuktikan keberadaan-Nya. Jadi
singkirkan kakimu, hai mayat yang tak punya rasa. Tak ada
yang dapat menghalangi langkahku.
Dengan menahan sakit pada tangan kirinya yang menimpa
aspal kasar, tangan Abdullah menjangkau tongkat kayu
dengan tangan kanannya. Ketika tumpuannya telah kukuh,
Abdullah menaikkan tubuhnya ke atas. Begitu susah payah ia
menegakkan tubuh. Tapi siapakah yang bisa mengalahkan
kekerasan hatinya?
Setelah tubuhnya tegak seimbang, Abdullah menendang mayat
itu. Ia injak dengan kaki kanannya yang masih menyimpan
tenaga. Lalu mendengus.
Jalan yang ditempuh Abdullah makin menyempit dalam
pandangan matanya yang kelabu. Tapi ia terus berjalan.
Beberapa depa di depannya, Abdullah tersentak. Masjid
Baiturrahman masih berdiri tegak. Seperti mercusuar tinggi di
tengah lautan puing-puing yang menyerak. Warnanya yang
putih pantulkan kilau matahari ke seluruh padang yang luas.
Padang mahsyar.
Abdullah semakin kebut langkahnya. Seperti roda, kakinya
yang pincang bergerak cepat. Ia berlari. Seperti kuda sembrani
yang melintas di permukaan laut yang tenang.
''Mau kemana engkau, Abdullah?''
Abdullah tak menjawab. Ia terus seret langkahnya. Menekan
gemuruh yang berputar dahsyat di kepalanya. Adakah Engkau
di sana? Dadanya bergetar hebat. Sudah habis air matanya
sejak berhari-hari lalu. Tapi apa yang ada di dadanya ini?
Begitu hebat guncangannya, begitu keras gemuruhnya. Ketika
tak ada lagi yang bisa menahannya, Abdullah meraung hebat.
Seluruh persendiannya patah dan lunglai. Ia terjerambab
dengan tubuh kehilangan daya. Dan terduduk di teras masjid
dengan mata yang buta. Dengan tubuh yang tergugu. Adakah
badai yang lebih besar dari ini, Ya Allah? Abdullah menangis.
Hatinya basah.
''Apakah engkau menemukannya, Abdullah?'' Suara yang jauh
meruapi telinganya.
Dagu Abdullah mengangguk makin hebat. Air mata
menggenang di wajahnya. Membasah di janggutnya yang
tipis. Seperti kilau minyak zaitun. Tak sanggup gelombang
suara keluar dari kerongkongannya yang tercekat. Hanya lirih
yang mengisi udara.
''Bagaimana mungkin, bukankah matamu telah buta,
Abdullah?'' Suara yang lembut menghunjam dadanya.
Air mata Abdullah makin menderas. Tubuhnya lumpuh. Tak
kuat menahan guncangan yang kuat dalam dadanya. Matanya
memang telah buta. Sejak gelombang pasang itu meraup
seluruh hidupnya. Ia tak melihat apa-apa lagi. Tapi air mata
yang membasuh hatinya membukakan semua pintu yang
terkatup.
Ia seakan melihat istrinya, ibunya, bapaknya, dan Ibrahim
anaknya melambaikan tangan ke arahnya. Lalu di sebelah-
sebelahnya, tetangga rumah, teman sesama nelayan. Senyum
mereka merekah. Ikhlas. Seperti kuntum-kuntum embun yang
membeningkan pagi. Lalu perlahan semuanya mengabur
serupa kabut yang membias di fajar subuh.
Suara adzan menyayat telinganya. Abdullah merasa tubuhnya
melayang dalam udara. Menyatu dalam ruang hampa. Ketika
tersadar, ia melihat tubuhnya bersimpuh di depan mihrab
masjid. Begitu kecil. Dan tanpa daya.***

Minggu, 02 Desember 2012

KATA-KATA CINTA

Artikel: Vj Smart
Karya :  Putroe Bendahara

Saat kamu melihat fotonya, ataupun
hanya mendengar suaranya, bahkan
hanya membaca surat cintanya, kamu
merasakan rindu, maka berbahagialah
karena kamu sedang jatuh cinta.

Cinta adalah berbagi, karena walau ada
di dua raga, setiap pasangan hanya
memiliki satu hati.

Aku sadar aku tak sempurna, tetapi kau
menyempurnakanku dengan cintamu.

Saat kamu melihat fotonya, ataupun
hanya mendengar suaranya, bahkan
hanya membaca surat cintanya, kamu
merasakan rindu, maka berbahagialah
karena kamu sedang jatuh cinta.

Jika kamu inginkan sesuatu, posisikan
dirimu tuk menerima hal itu, karena ia tak
akan datang jika kamu sendiri tak siap
menerimanya.

Cinta mengajarkan kita menerima
kekurangan seseorang bukan
kelebihannya.

Terkadang Tuhan tak memberikan apa
yang kamu inginkan, hanya karena Tuhan
tahu apa yang kamu inginkan, bukan
yang kamu butuhkan.

Jangan bermain-main dengan seseorang
yg sedang menunjukan arti cinta, karena
kamu akan menyesal ketika ia pergi
meninggalkanmu.

Jangan biarkan orang yang membencimu
menyakitimu, biarkan orang yang
mencintaimu memulihkanmu.

Aku tak pernah memintamu sesuatu agar
kamu mencintaimu dan menuntut suatu
hal untuk sebuah keharusan, tapi aku
hanya mengharapkanmu agar selalu
mencintaiku.

Cinta sejati hanya ada pada Allah SWT
semata.

Jika mencintaimu dimulai dengan
senyuman, tumbuh dengan dekapan dan
akan kuakhiri dengan sebuah pelaminan.

Mencintaimu adalah keinginanku,
memilikimu adalah dambaanku, meski
jarak jadi pemisah, hati tak akan bisa
terpisah.

Memilikimu adalah hal yang terindah
dalam hidupku.

Tidak ada yang mampu membuat hati ini
tersentuh, kecuali dirimu sayang, karena
kamulah bidadari terindah dalam hidupku.

Sesakit apapun kau menyakitiku, aku
masih mencintaimu dan masih setia
menunggumu disini.

Cinta adalah misteri dalam hidupku yang
tak pernah ku tahu akhirnya.

Selama nafas ini masih ada, selama
jantung ini masih berdenyut, aku akan
mencintaimu dan membahagiakanmu.

Cinta sejati bukan cinta yang
mengutamakan pelukan, ciuman dan
pertemuan. Tapi cinta sejati lebih
mengutamakan pengabdian, kasih
sayang dan perhatian.

Cinta itu aneh, semakin kamu berusaha
menghapus dia dari hatimu, semakin
sering dia muncul di pikiranmu.

Cinta tidak pernah meminta, ia senantiasa
memberi, cinta membawa penderitaan,
tetapi tidak pernah berdendam, tak
pernah membalas dendam. Dimana ada
cinta disitu ada kehidupan manakala
kebencian membawa kepada kemusnahan.

Tak perlu menunggu ucapan cinta
darimu, perhatianmu dan senyummu
sudah cukup membuatku tahu, kau
mencintaiku.

Dalam cinta, kamu tahu dia bukan orang
yang tepat tuk hidupmu, ketika kamu
merasa lebih sepi daripada ketika kamu
masih sendiri.

Sebenarnya aku tidak pernah memilihmu,
tapi cintalah yang memilihmu menjadi
kekasihku.

Apapun yang kulakukan tidak membuatku
bahagia, kecuali jika aku melakukan
sesuatu hal untukmu.

Tiada apapun yang aku punya, tiada cinta
yang kurasakan, saat kamua datang aku
pun terasa kamu beda. Kamu memang
beda, kini kau telah mengisi hati ini, kini
kau memberi warna yang sangat indah
dalam hidupku.

Waktu yang mempertemukan kita, waktu
yang membuktikan besarnya cinta kita
untuk bersama.

Ketika kau mencintainya dan kau hanya
mendapat hujan, cintailah aku sebagai
pelangimu.

Dalam cinta, jangan mengharapkan
seseorang tuk tetap bersamamu, jika
yang kamu beri padanya hanya alasan
tuk meninggalkanmu.

Ketika kesedihan menyapa, cobalah untuk
tetap tersenyum. Kamu tidak pantas untuk
bersedih.

Wajahmu tidak membuatku takluk,
senyummu juga tidak bisa membuatku
tersipuh, kecuali ketulusanmu
mencintaiku yang membuat hatiku
bertekuk lutut di hatimu.

Cinta dapat membuat kita melayang
tinggi di langit biru yang dipenuhi oleh
awan penyejuk hati, namun terkadang
cinta juga yang membuat kita menjadi
insan yang terbelenggu.

Ketika kamu inginkan sesuatu, kamu tak
seharusnya mencari tahu siapa yang
memperhatikanmu. Karena yang harus
kamu tahu adalah tujuanmu.

KATA MUTIARA

Oleh Vj Smart
*************
Pada suatu hari, Umar bin Khatab
bertanya kepada gurunya: "Apakah
cinta sejati itu?" Sang guru
menjawab : "Berjalanlah lurus di
taman bunga yang luas, petiklah satu
bunga yang terindah menurutmu &
jangan pernah berbalik kebelakang."
Kemudian Umar melaksanakannya &
kembali lagi dengan tangan hampa.
Gurunya bertanya, "Lho, mana
bunganya?" tanya yang guru. Umar
menjawab, "Aku tak bisa
mendapatkannya guru, sebenarnya
aku telah menemukannya, tapi aku
berpikir lagi pasti ada yang lebih
bagus didepan sana, dan ketika aku
telah sampai diujung taman. Aku
tersadar bahwa yang aku temui di
awal tadi itulah yang terbaik! Tetapi
aku tidak boleh menoleh kebelakang
kembali, bukan? Sang guru berkata,
"Seperti itulah CINTA, semakin kita
mencari yang terbaik, maka tidak akan
pernah sekalipun kita menemukannya.
Maka jangan pernah sia-siakan cinta
yang pernah tumbuh di hati kita,
karena waktu takkan pernah kembali".

Sabtu, 01 Desember 2012

KU TEMUKAN CINTA DI TEPI DANAU

Karya: Putroe Bendahara
...
“ Cinta....maafin Riko. Riko
janji....Riko akan kesini lagi didanau ini. Tapi....”
“ Tapi apa Riko??” potong Cinta.
“ Tapi sekarang Riko harus
pergi...” jawab Riko dengan berat hati.
“ Pergi...kemana??” tanya
Cinta tertegun dengan kata-kata
Riko.
“ Ke London….” Jawab Riko pendek.
Cinta menundukkan kepalanya. Ia
mencoba menyembunyikan
kesedihannya itu. Riko sungguh tidak tega meninggalkan sahabat yang disayanginya itu. Sesungguhnya dalam hati Riko menganggap Cinta lebih dari seorang sahabat. Sayangnya
keadaanlah yang membuat Riko
enggan mengungkapkan perasaan itu, ketakutannya akan hubungan
persahabatan dengan Cinta akan
renggang setelah dia mengungkapkan perasaan itu.
“ Tapi Riko janji…. Riko akan
kesini lagi, di danau persahabatan kita ini.” tegas Riko.
Ada sedikit harapan di hati
Cinta untuk bertemu kembali
dengan Riko. Tetapi keragu-raguan tetap menyelimuti hati Cinta. Jarak yang jauh akankah membuat Riko tetap mengingatnya.
“ Ini Riko titip gelang.” ujar Riko
sedari melingkarkan gelang berinisial R di tangan kiri Cinta.
“ Kamu harus jaga gelang ini,
kamu nggak boleh ngilangin gelang ini. Gelang ini sebagai tanda janji Riko untuk Cinta, janji harus Riko tepati nantinya.” Tambah Riko.
Gelang perak berinisial R kini
melekat di tangan pelangi. Tak kuasa buliran bening membasahi pipi Cinta. Sebagai gantinya Cinta
memberikan kalung yang terukir
nama "CINTA" kepada Riko.
“ Buat Riko…. Supaya Riko nggak
lupa sama Cinta.” Kata Cinta
memakaikan kalungnya pada Riko.
Riko memegang kalung itu dan
memandangi ukiran nama yang
menggatung dikalugnya. Kabutpun mulai datang menyelimuti kalung itu,
tidak berapa lama wanita berparas
anggun datang menjemput Riko.
“ Rikoo… ayo sayang nanti kita
terlambat.” Teriakan mama Riko
memecahkan kesunyian.
“ Iya mah…” sahut Riko.
Pelangi semakin sedih saat detik-
detik keberangkatan Riko.
Rasanya dia ingin ikut bersama-sama Riko. Tapi tidak mungkin Cinta melakukannya.
“ Riko pergi…. Sampai jumpa lagi
saat kita berumur 17 tahun nanti.”
Ujar Riko untuk terakhir kalinya
kepada Cinta. Kabut di Danau
semakin bertambah tebal mengiringi kepergian Riko. Cinta hanya bisa menangis mengantar kepergian Riko ke London. Dan sejak saat itu adalah awal semua perubahan kehidupan Cinta.
******
Hari demi hari dijalani Cinta
tanpa kehadiran Riko. Tak ada canda ataupun kejailan Riko. Pelangi selalu datang ke danau awal persahabatannya dengan Riko.
Di danau itu Cinta memutar kembali memorinya saat-saat bersama Riko.
Semua kenangan diputarnya secara perlahan-lahan agar tidak hilang dari ingatannya. Ingin sekali Cinta cepat-cepat berusia 17 tahun, tak sabar untuk menanti kedatangan Riko yang
mengalami banyak perubahan.
Tapi sayang, itu masih 5 tahun
lagi dan waktu 5 tahun itu adalah
waktu yang sangat lama. Dalam benak Cinta dia bertanya-tanya
mungkinkah Riko masih
mengingatnya.....???
******
Lima tahun genap Riko
meninggalkannya. Belum ada kabar sama sekali tentang Riko. Sampai suatu hari, dimana hari itu adalah hari ulang tahun Cinta yang ke-17.
Cinta sangat sedih, disaat hari
istimewanya itu Riko tidak berada disini.
“Lima tahun sudah Rik.. kamu
pergi,dan hari ini adalah hari ulang
tahun ku. Kapan kamu pulang??”ujar Cinta memandangi foto dirinya bersama Riko saat masih kecil dulu.
Buliran air mata turun dari
pelupuk matanya. Cinta masih setia menunggu sahabatnya itu.Sahabat yang sangat dicintainya,dalam hatinya dia berharap Riko bukan sekedar sahabatnya melainkan orang yang memiliki hatinya.
“Cintaaa….”seruan mamanya
memecahkan kegundahan hati Cinta.
           “Iya Mahh…” sahut Cinta.
“Cepat kesini….., ada surat
untukmu” ujar mama.
Cinta segera menghapus air
matanya dan berlari menghampiri
mamanya. Dalam hati dia berkata “
Semoga surat dari London, semoga surat dari London.”
Cinta memengang surat itu
Dilihatnya alamat surat itu tertera
tulisan dari London. Cepat-cepat
Cinta membuka surat itu.
London ,14 Febuary 2010
Untuk Cinta tersayang
Salam sayang,
“hai.. Cint”, mungkin kata-kata
itu yang tepat ku ucapkan untuk ku
ucapkan pertama kali setelah sekian lama aku tak menyapamu.Aku tau kamu pasti marah kepadaku setelah sekian lama aku pergi dan ini surat pertama
yang kau terima.Oh..ya sebelumnya ,apa kabar Cinta ??? aku harap kamu disana sehat dan semakin cantik saja.
Apa ada laki-laki yang mengisi
hatimu?? Semoga saja belum da
seseorang mengisi hatimu.(seulas
senyum terlukis diwajah Cinta)
Aku minta maaf baru bisa memberimu kabar sekarang.Sebenarnya sudah lama aku
ingin membagi kabar pertama ku saat di London.Tapi apa daya, aku ingin memberimu kabar lewat
e-mail tapi aku tak tahu alamat e-mail mu.
Aku tau hari ini kamu genap
berusia 17th.Mungkin jika kamu disini kamu sudah berulang
tahuu kemarin.Aku ingin sekali
bercerita bnyak tentang London .Disini cuacanya sangat bertolak belakang dengan di Indonesia, makanannya juga aneh-aneh namanya. Apalagi rasanya,lebih enak masakan si mbok.
Masih banyak yang ingin kusampaikan padamu. Aku harap kamu masih seceria dulu saat-saat kamu masih bersamaku.
Sekian dulu surat dariku, aku akan
menemuimu di tempat awal kita
bertemu dulu. Sebelumnya aku ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun Cintaku sayang. Semoga kau sehat selalu. Tolong tunggu aku sebentar saja,
aku akan kembali padamu.
Orang yang merindukanmu,
( Riko )
NB: masihkah kau jaga gelang dariku???
Aku harap kau masih memakainya…
          Jangan hilangkan gelang itu !!!
Cinta tak kuasa meneteskan air
matanya. Meskipun berulang kali
Cinta menyekanya, air mata itu tetap saja tidak mau berhenti keluar dari matanya. Entah air ,mata kebahagiaanya atau kesedihannya. Cinta bahagia ternyata Riko tidak pernah melupakan dirinya. Tapi satu
hal yang mengganjal hatinya
kapankah Riko akan pulang?
******
Hari itu Cinta berangkat
ke sekolah, kebetulan jarak sekolahan cukup jauh. Tapi Cinta tak mengurungkan niatnya untuk naik sepeda ke sekolahanya.
Hari itu bertepatan dengan kepulangan Riko dari London. Riko memang sengaja tidak memberi tahu Cinta bahwa hari ini dia akan pulang. Dia ingin memberikan kejutan untuk Cinta.
Riko tiba di bandara tepat pukul 08.30 WIB. Senyumannya mengembang saat ia menginjakkan kaki untuk pertama
kalinya di Indonesia setelah sekian
lama dia pergi.
“ Aku pulang Cinta….” Ujarnya
sendiri sambil menatap birunya langit pagi itu.
Riko akan pulang ke rumah
lamanya yang telah sekian lama ia
tinggalkan dengan mamanya. Selama Riko di London rumah itu dihuni oleh neneknya dan 2 pembantu serta seorang satpam. Semenjak Riko pergi Cinta memang jarang pergi berkunjung ke rumah Riko.
Sebuah mobil kijang merah
marun menjemput Riko. Pak Karjon menenteng koper Riko dan langsung meluncur.
“ Pak Karjon mampir ke toko
boneka dulu ya…” pinta Riko.
“ Iya Den, mau beli boneka
buat Non Cinta ya?” Tanya Pak
Karjon.
“ Iya pak…, Pelangi tambah
cantik nggak Pak?”
“ Cantik Den, Non Pelangi
sering lewat naik sepeda ke sekolah.”
jawab Pak Karjon.
Sampai di toko Riko segera
membeli sebuah boneka berbentuk
kelinci berwarna merah muda, yang rencananya akan diberikan kepada Cinta malam nanti.
******
“ Cintaaaa……… kamu sudah mendapat kabar dari Riko?”
Tanya Mamanya.
“Sudah mah, tapi Cinta nggak
tahu kapan Riko akan pulang.” Jawab Cinta. Mamanya mengerutkan dahi karena bingung dengan jawaban Cinta.
“ Kok gitu??”
“ Ya Cinta nggak tahu mah,
ya udah deh Cinta istirahat dulu ya
mah..”
“ Iya udah sana.”
Sore menjelang malam Riko
telah mempersiapkan diri untuk
bertemu dengan Cinta. Mulai
pakaian, diperhatikannya dari ujung rambut sampai kaki tidak dilewati Riko. Neneknya hanya tertawa melihat cucunya yang mendadak fashionable.
Akhirnya setelah berjam-jam
berdandan, Riko berangkat menuju ke rumah Cinta.
Riko memacu mobilnya kecepatan yang stabil. Senyumnya tak
berhenti mengembang saat melihat boneka kelinci yang akan dberikan pada Cinta. Sangking senangnya Riko tidak melihat adanya truck dari arah yang berlawanan. Mobil yang dikendarai Riko keluar dari jalur dan menabrak pohon. Selang kejadiaan itu terdengarlah suara serene yang terdengar parau di telinga Riko.
******
Dirumah, Cinta
memandangi fotonya bersama Riko sewaktu kecil dulu. Senyum tipis muncul di wajah Cinta mengingat kejadiaan saat kecil dulu. Saat akan diletakkannya foto itu kembali, tiba-tiba saja foto terjatuh. Pelangi kaget bukan main, pikirannya mendadak
teringat tentang Riko.
Sementara itu Riko tersadar
telah berada di ruang yang aromanya penuh dengan obat. Didapatinya nenek berada di sampingnya, menangis mencemaskan keadaannya.
“ Riko kenapa?” Tanya Riko
dengan lemah.
“ Kamu kecelakaaan saat
menuju rumah Cinta.” Jelas nenek.
“ Tapi Riko harus ke rumah
Cinta sekarang juga.” Ujar Riko bersih keras ingin ke rumah Cinta.
“ Kamu belum sembuh betul, Nak.”
“ Tapi….”
“ Sudah kamu istirahat saja
dulu.” Ucap nenek memotong
perkataan Riko.
******
Pagi telah datang, Minggu ini adalah saat yang tenang untuk Cinta. Entah kenapa mendadak Cinta ingin pergi ke danau. Di keluarkanya sepeda yang
kemudian dikayuhnya menuju danau.
Sementara itu Riko masih
terbaring lemah di ranjang. Cahaya matahari masuk melalui celah-celah gorden jendela tempat Riko dirawat.
“ Danau… Aku ingin kesana.”
Ujar Riko ketika terbangun dari
tidurnya.
Dengan langkah tertatih Riko keluar
dari kamar inapnya. Riko memanggil taxi untuk mengantarnya ke danau.
Jika neneknya tahu Riko akan pergi ke Danau, neneknya tidak akan mengizinkannya.
Dalam hitungan jam Riko
sampai di danau. Taxi itu
meninggalkan Riko yang tertatih
menyusuri jalan setapak yang
dipenuhi kabut. Riko melihat
sekeliling danau, sedikit ada
perubahan pada jembatan danau itu.
Senyumnya kembali terlukis di
wajahnya melihat tempat kenangan masa kecilnya bersama Cinta.
melihat tempat kenangan masa
kecilnya bersama Cinta. Tak jauh
dari jembatan Riko mendapati seorang wanita yang sedang duduk di bangku taman tepi danau. Dalam hati Riko menebak-nebak “apakah wanita disana
itu Cinta?”. Perlahan-lahan Riko
mendekati wanita itu. Rambut
berwarna hitam kecoklatan kontras dngan kulit wajah putihnya. Wanita itu memakai switer hijau. Pandangannya
menerawang jauh kearah cakrawala.
“Cintaaaa…” panggil Riko
dengan rasa yang berkecamuk
dihatinya.
Wanita itu menoleh kearah
suara yang memanggil namanya.
Cinta menengadakkan kepalanya ke sosok laki-laki bertubuh atletis yang berdiri di depannya. Wajah laki-laki itu terlihat pucat, matanya melihat
Cinta lekat-lekat. Riko melihat
gelang yang melingkar di pergelangan wanita itu.
Hal itu membuat Riko semakin yakin bahwa wanita itu adalah Cinta. Cinta terkejut dengan tingkah laki-laki yang berdiri
dihadapannya.
“ Cintaaa…, kamu benar
Cintakan?” ujar Riko dengan derai air mata.
Cinta semakin heran darimana laki-laki itu tahu namanya.
Akhirnya Riko menunjukkan kalung yang terukir nama Cinta untuk meyakinkannya. Cinta berdiri dari duduknya. Buliran air mata tak terbendung lagi di matanya. Ternyata
laki-laki di hadapannya adalah Riko.
“ Ini aku Riko, Cinta.” Kata
Riko dengan suara bergetar.
Cinta hanya diam menagis
sejadi-jadinya.Sungguh idak disangka kalau Riko benar-benar menepati janjinya. Riko menarik tubuh Cinta kedalam pelukannya. Di danau ini, di tempat ini pertama awal pertemuan dan persahabatan Riko dan Cinta.
Dan di danau ini pula, sekarang Riko dan Cinta dipertemukan kembali setelah 5 tahun berpisah.
“ Jangan tinggalin aku
lagi…..please.” ujar Cinta
sesenggukan di pelukan Riko.
“ Nggak akan… I’ll stay here
for you…. Forever.” Jawab Riko.
Sesuatu yang terlihat jauh
tak selamanya menjadi jauh.
Begitupun dengan orang yang kita
sayangi, walau waktu dan jarak yang jauh tidak akan selamanya terpisah.
Yakinlah bahwa waktu juga yang akan menyatukan kita kembali.

SURAT DALAM HUJAN

Karya: Putroe Bendahara
...
HUJAN. Selalu demikian di bulan Nopember ini. Hujan benar-benar mewarnai hari. Sore. Ya, pukul empat lebih, hujan seperti pantulan manik-manik kaca menderas seketika dengan anggunnya. Aku menyesal, sumur di luar pasti akan keruh lagi airnya, mestinya diberi atap nanti. Hujan. Aku duduk di sini, dekat jendela kaca memerhatikan curahan air yang mengguyur serentak dari udara. Seperti apakah bunyinya? Di atas atap, di dedaunan, di tanah becek, bahkan di kolam ikan yang berderet nun di luar? Aku tak tahu. Sunyi. Kecuali gelegar petir yang menghantam bumi. Ya, hanya itu yang kurasakan. Aku
ingat kamu. Aku suka hujan, aku suka suasananya yang begitu kontemplatif. Kurasakan ekstase tertentu jika hujan. Memberiku inspirasi untuk menulis puisi. Bahkan juga menulis surat untukmu dalam suasana hujan kupikir cukup romantis, meski isinya terkadang bernada humor yang ironis. Aku rindu suratmu. Yang selalu hangat dan menggembirakan, simpel dan terkadang menggetarkan. Namun mungkin kamu sudah kecewa dengan kenyataan yang kuungkapkan dalam suratku yang barusan kukirimkan.

Mungkin kamu kebingungan dan terpaksa bertanya pada orang yang kebetulan pernah bertemu denganku,
entah Mas Herwan FR atau Agus Kresna, meski ada yang merasa tak berhak untuk mengatakan apa-apa
karena aku sudah memintanya agar jangan dulu mengabarkan kehadiranku pada orang-orang untuk
suatu alasan. Dan rentetan kemungkinan lainnya mengendap dalam benakku. Namun aku harap
kamu benar-benar cukup dewasa untuk menerima realita dalam hidup yang penuh ketakterdugaan. Aku
kesepian. Apa yang kulakukan.

Duduk di kursi sembari mengangkat kaki, dan di rumah hanya ada aku sendiri. Aku membayangkan kamu.
Sosok yang tak pernah kutemui. Hanya foto yang kamu kirimkan melengkapi imajinasi: seorang lelaki gondrong yang menarik, dan merasa dirinya secara psikologis sudah dewasa dalam usia 23 tahun. Heran, di luar belasan burung entah apa namanya berseliweran dalam guyuran hujan begini, apa yang mereka cari?
Barangkali kamu lebih tahu ekologi dan mau berteori? Aku kedinginan. Aliran listrik padam. Barangkali
segelas teh manis panas bisa menghangatkan tubuhku. Apakah di Bandung saat ini sedang
hujan juga, dan kamu tengah bagaimana? Mengisap A Mild ditemani secangkir kopi panas? Menulis puisi,
cerpen, esai, surat, atau tugas mata kuliah? Di kampus, di rumah, atau di suatu tempat entah? Membaca diktat,buku tertentu, karya sastra, atau komik? Di depan monitor komputer, mengobrol, atau nonton TV?
Mendengarkan The Doors atau Ebiet G. Ade? Tidur atau makan? Salat Asar atau menggigil kehujanan? Atau
mengguyur badan di kamar mandi? Atau tak melakukan apa-apa sama sekali? Cuma Tuhan yang tahu. Relasi yang aneh, katamu, karena lewat surat. Lalu kamu menyuruhku belajar internet biar bisa bikin e-mail dan tak perlu ke perpustakaan konvensional.
Dan kamu janji akan mengajariku jika nanti bertemu. Bertemu. Aku juga ingin bertemu kamu. Namun untuk
apa? Adakah makna dari pertemuan itu? Kubayangkan kamu sebagai Indra, temanku, yang membagi dunia lewat tangannya. Namun apa kamu bisa bahasa isyarat sederhana cara abjad? Kamu kecewa karena aku tuli? Apakah dalam surat pertamaku aku harus
memberitahu siapa diriku secara mendetail? Aku telah mengambil risiko. Begitu pun kamu. Risiko untuk
merelasi diri dan berinteraksi dengan orang asing.

Sebuah silaturahmi yang kumulai, haruskah berakhir sia-sia? Aku berusaha menerima diriku sebagaimana adanya dan menjadi orang biasa, meski aku tahu orang-orang di sekitarku kecewa. Keluarga, teman-teman, sahabat dekat, sampai siapa saja yang memang merasa harus kecewa. Bertahun-tahun, ada belasan tahun mungkin, sejak usiaku 16 tahun
sampai 25 tahun, kujalani hari dengan sunyi, sebuah dunia tanpa bunyi- bunyi. Bisakah kamu bayangkan? Ah, aku tak akan bisa mendengar permainan harmonikamu, lalu membandingkannya dengan
permainan harmonika abangku. Atau denting gitarmu dengan Eric Clapton. Atau bagaimana suatu melodi tercipta dari puisi.

Aku juga tak akan tahu warna suaramu saat memusikalisasikan puisi, berdeklamasi, menyanyi, tadarus, berperan dalam lakon teater, atau bicara biasa saja. Kamu masih ingat, dalam salah satu suratmu, kamu menulis: Setting: Kamar, 141000 - 21.20 WIB, Dewa 19 - Terbaik-terbaik. Gurun yang baik. Barangkali sekaranglah saatnya! Lalu kamu membiarkan selembar halaman kertas itu kosong. Aku mengerti artinya, kamu ingin aku memutar lagu
tersebut, dan membiarkan Terbaik- terbaik bicara. Sesuatu yang tengah menggambarkan suasana hatimu saat itu? Sayang, aku tak bisa melakukannya. Kata teman-teman, lagu itu tentang cinta dan persahabatan. Kurasa aku harus bertanya pada Rie, Indra, atau Nana; apa ada yang punya teksnya? Ironis,
bukan? Tampaknya kamu senang menulis dengan diiringi musik. Aku iri padamu. Karena aku ingin tahu juga seperti apa indahnya musik klasik itu, entah Mozart yang kata Indra melankolis; atau Chopin di masa silam, gumam Cecep Syamsul Hari dalam
puisi Meja Kayu yang kembali muram- surealis, menulis lagu pedih tentang hujan2; atau tahu di mana letak jeniusnya Beethoven yang mencipta komposisi meski tuli; dan bisa mengerti mengapa ayahku sangat
menyukai musik klasik selain country. Aku rindu bunyi gamelan, dan ingin kembali belajar menari. Entah jaipong Jugala, tari klasik Jawa, atau mungkin sendratari seperti yang sering kusaksikan di TVRI waktu kecil dulu. Aku ingin berperan sebagai Drupadi
atau Srikandi, perpaduan antara kelembutan dan keperkasaan. Kamu lebih suka karakter Bima? Aku suka karakter Yudistira, ia satu-satunya yang (hampir) berhasil mencapa puncak Mahameru sementar. saudara-saudaranya satu per sat. berguguran. Kamu tahu artinya, kan. Aku lupa penggalan kisah ini dari
komik wayang R.A. Kosasih ata. majalah Ananda -- yang pernah kit. baca waktu kanak-kanak dulu, meski
mungkin dalam dimensi yan. berbeda. Sudahlah, setidaknya ak. bisa tahu minatmu, dan kamu tahu
minatku

Aku tak tahu banyak tentang musik. padahal kamu pasti asyik sendir. dengan The Corrs, Dewa, Kubik, Jim
Morrison, bahkan juga Jimi Hendrix. Mengapa sih dalam cerpenmu yan. barusan dimuat koran, kamu menuli. soal Jimi Hendrix dan Jim Morrison?
Itu mengingatkanku pada Abuy tema. SMU-ku yang sangat mengidolaka. mereka dan senang cerita soal it. padaku, seolah merekalah yang bis. meluapkan kegelisahan terpendamny. yang liar menuju muara kebebasan. Lucu, adakah orang tuli yang begitu
besar rasa ingin tahunya tentan. sesuatu yang tak mungkin bis. dirasakan. Katakan aku aneh. Aku
memang orang aneh. Namun aku jug. berharap bisa tahu lebih banya. tentang Iqbal, Rumi, Camus, Dylan,
Gibran, Cummings, Malna, sampa. Rendra. Ya, itu jika kita bertemu. Mungkinkah itu? Tempias hujan tidak
deras lagi, namun kesedihan itu masi. menghantam ruang terdalam. Ak. butuh kawan. Kamukah orangnya?
Tidak, kamu mungkin sudah berharap agar aku jadi seseorang yang ke lima setelah kamu kecewa dengan sekian perempuan yang masuk dalam hidupmu, meski itu terlalu dini karena kita baru tiga kali saling menyurati. Semudah itukah hatimu terpaut, atau kamu cuma ingin mengujiku? Tidak. Aku tak berharap apa-apa darimu. Aku hanya ingin jadi kawanmu. Kawan
biasa. Bukan pacar. Meski aku juga ingin punya pacar, sebagaimana perempuan kebanyakan. Seseorang
yang membuatku jatuh cinta sungguhan. Seseorang yang mencintaiku apa adanya. Seseorang di mana bisa berbagi dunia. Naifkah?
Hujan. Aku kembali memandang ke luar jendela kaca.

Di sana gunung begitu dekat dengan latar pepohonan seperti hamparan permadani hijau kebiruan, dan kabut
yang mengental; terasa beku dalam pelukan kegaiban-Nya. Ya Tuhan, barusan kulihat kilatan petir membelah langit desa di sebelah utara. Subhanallah, indah sekali
bentuknya; kilatan warna perak yang abstrak dengan latar kelabu. Aku membayangkan bagaimana
seandainya jika petir tiba-tiba menghajarku. Sudahlah, mungkin lebih baik aku membayangkan diriku sebagai Walter Spies atau Alain Compost; akan kuabadikan keindahan panorama hujan. Tidak. Aku bukan mereka. Aku cuma punya kata-kata. Bukan kuas atau kamera. Namun kata-kata yang berhamburan dari mulutku
pasti tak akan kamu mengerti sepenuhnya jika kita berbicara. Kamu akan membutuhkan waktu untuk
mengenali warna suaraku yang kacau intonasinya, seperti teman-teman dekatku. Mungkin cukup lama.
Apakah kita akan bertemu dan bicara seolah kawan lama dengan akrabnya? Atau kaku lalu merasa sia-sia? Aku bukan May Ziadah, Elizabeth Whitcomb, Mabel Hubbard-Graham Bell, Marlee Matlin, atau Jane Mawar.

MENUNGGU PELANGI

Karya: Putroe Bendahara

“ Ehm, paman. Cari sisanya dimana yah?
Maaf ya paman kalo ngrepotin..” “ Aduh
dimana ya? Paman Heru udah jarang
banget ketemu event – event balap.”
Jawab Paman Heru. “ Bener nih Paman?
Ngga ada sama sekali?” tanyaku sekali
lagi untuk meyakinkan. “ Ada sih satu.
Paman kemarin ketemu satu event.
Hadiahnya lumayan gede juga” jawab
paman sekali lagi. “Ya udah aku ikut.”
Jawabku tanpa pikir panjang. “Tapi yang
ngadain Komunitas Bali.” Ujar Paman.
“Hah? Bali? Balap Liar paman?” tanyaku
dengan heran. “Iya. Kamu tau kan
konsekuensinya?” “Emmmm, oke deh
gapapa. Pokoknya ayah sembuh.”

Setelah kubicarakan hal ini dengan
mama, Tami dan Hugo, tak ada yang
menyetujui kesepakatanku kecuali Hugo.
Hanya dia yang menyemangatiku saat itu.
“ Udah To. Kalo ada barang yang bisa
dijual, biar mama jual daripada kamu ikut
balapan kaya gitu.” Mama melarangku. “
Iya kak. Biar nanti Tami jual gorengan
atau apa gitu buat bayar biayanya ayah.
Daripada kakak nanti kenapa – napa.”
Tami yang masih di bangku SD itu juga
berusaha melarang. Tapi keputusanku
udah bulat. Aku akan tetap mengikuti
balap ini.

Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Sudah
siap aku di atas motor balapku ini. Tak
lupa ada gantungan kunci dari Pelangi
yang menemaniku. Para cewek – cewek
di depanku menarik bendera hitam putih
di tangan mereka. Segera melaju kami
semua. Urutan pertama ada rivalku si
Joe. Tapi aku berusaha menyalipnya.
Beberapa lap sudah kulewati. Tinggal
satu lap lagi. Aku masih di urutan dua.
Joe mengencangkan lagi gasnya. Aku
juga tak mau kalah. Aku tancap gasku.
Kini jarakku dengan Joe hanya beberapa
cm! Kutancap lagi gasku! Garis finish
sudah ada di depanku. Mataku mulai jeli
memainkan trik. Kutancap gas hingga aku
berada di depan Joe. Kuhalangi laju
motor Joe dengan zig zag. Tinggal sedikit
lagi.. Ya, ya, ya.. YESSS!!! Aku berhasil
mencapai urutan pertama di garis
finish. Paman Heru berteriak
menyemangatiku dari jauh. Para
penonton menyoraki dan memberi tepuk
tangan untukku. Sangat haru sekali.
Sangat memuaskan. Tapi, polisi! Polisi!
Polisi! Penonton berlarian kesana kemari.
Para pembalap lain melaju kencang tak
berarah. Paman Heru berteriak padaku
“Tito!!!! Ayo pergi!!!! Paman ga mau kamu
ditangkap polisi!!!” “Lhoh kenapa
paman???!!!!! Aku kan belum dapat
hadiahnya!!!!” teriakku membalas paman
Heru. “Tito ini Balap Liar!!!!! Kamu lupa
ya????!!!!!!”

Jregg. Oh iya!! Aku baru teringat.
Kutancap gasku. Aku melaju tanpa arah.
Tak kusangka segerombolan cewek centil
berlari dengan histeris di depanku. Aku
rem motorku dengan sangat mendadak
dan dengan kecepatan yang melebihi
normalnya. Keseimbanganku goyah. Aku
terjatuh dari motorku!

Kaki kiriku tertindih body motorku.
Sebelum kubebaskan kaki kiriku, kuraih
dulu gantungan kunci dari Pelangi. Sedikit
lagi…, yah! Aku berhasil membebaskan
kakiku! Gantungan kunci dari Pelangi juga
sudah kukantongi.

Belum aku berdiri dari jatuhku, seorang
pembalap dengan motor besarnya segera
melindas kedua kakiku dengan kecepatan
tinggi. Sakit sekali! Aku mengerang
kesakitan. Benar – benar sakit. Lebih
sakit daripada hatiku yang tercabik saat
Pelangi pergi. Paman Heru datang
menghampiriku. Belum sempat aku
mendengar Paman Heru berbicara,
pandangankupun gelap. Apa ini? Aku
sudah mati? Oh aku sudah mati ya.
Ternyata aku sudah
mati.

Perlahan – lahan aku membuka mataku.
Rasanya sudah lama sekali aku tidur.
Tapi ada mama di depanku. Tami dan
Hugo juga ada. Baunya sama persis
ketika aku melihat ayah yang terbaring
lemah di ranjang rumah sakit. Oh? Aku
sedang ada di rumah sakit?

Aku bangun dari tidurku. Kulihat anggota
badanku. Ada yang hilang!! Kakiku!!
Mana?? Dimana kedua kakiku? Tertanya
peristiwa itu membuat aku kehilangan
kedua kakiku. Harusnya aku menuruti
nasehat mama dan Tami. Pasti tidak akan
seperti ini jadinya. Ah! Tapi nasi telah
menjadi bubur. Apa daya??

“Kak, waktu kakak koma, kak Pelangi
dating kesini lho.” Kata Tami saat aku
berbaring di ranjang tidur. “ Oh ya? Terus
terus? Kak Pelangi bilang apa aja?”
tanyaku penasaran dan langsung bangkit
dari tidurku. “Enggak bilang apa – apa.
Cuma kesini pegang tangan kak Tito terus
pulang.” Jelas Tami. “Cuma gitu? Dia ga
nitip apa – apa?” aku heran. “ Emm,
enggak kok.” Jawab Tami ragu. “oh. Ya
udah deh”.
Siang itu hujan turun. Aku sangat ingat
pada Pelangi. Soalnya dia pernah buat
janji tiap ada hujan turun dia akan balik
buat liat pelangi sama – sama. Dengan
bantuan dorongan Hugo, aku menelusuri
lorong rumah sakit hingga ke lobby
dengan kursi roda. Kutunggu terus hingga
Hugo tertidur di atas sofa. Tapi hingga
larut ia tak juga datang.

Namun aku sangat menyesal
menunggunya sejak aku melihat surat
yang terletak di atas meja. Andai saja
waktu Tami bercerita padaku, aku tau
kalau di tangannya ada surat dari
Pelangi. Surat itu berisi : “Buat Tito
sahabat gue sekaligus pacar gue yang
paling gue sayang. To, gue minta maaf.
Gue ga bisa balik lagi buat liat pelangi
sama – sama lagi kaya dulu. Soalnya di
sini gue udah ketemu ama cowok yang
gue pikir bisa dampingin hidup gue.
Tolong titip gantungan kuncinya ya.
Rawat yang baik oke?”
Itupun belum semua. Yang paling
membuat aku menyesal menunggunya
semalaman adalah kalimat terakhir dari
suratnya. Yaitu: “Gue ga bisa hidup sama
orang cacat kaya lo”
Kini kusadari, pelangi hanya terbentuk
dari pembiasan yang tidak nyata. Namun
bisa membuat satu cahaya putih menjadi
bermacam – macam warna. Tetapi
pelangi hanya sementara dan bila tak
ada air dan cahaya pelangi hanya akan
mengingkari janjinya untuk menyinari
dunia.

Sama seperti si Pelangi. Pelangi memiliki
ciri – ciri yang kuimpikan namun tidak
nyata di hatinya. Ia bisa membuat
hidupku berwarna dan ceria. Tapi hiburan
itu hanya sementara untukku dan bila
tidak ada diriku yang utuh seperti dulu, ia
mengingkari janjinya dan berpaling.

AKU DAN GADIS PERPUSTAKAAN

Karya: Putroe Pendahara
...
Pertama kali kulihat dirinya ada di
perpustakaan, gedung tertua sekolah
kami, termasuk gedung paling jarang
dimasuki. Tempat yang angker juga
paling ngebosenin di seluruh sekolah. Aku
pun pada awalnya datang ke tempat itu
Cuma buat tidur atau kalo nggak ya,
menghindar dari cewek-cewek dengan
lirikan mata paling jijay atau cowok-
cowok yang ceweknya pada lari begitu
ngelihat gue di sekolah.Siapa sih, yang
nggak kenal Roni di SMU ini? Tampang,
oke. Tinggi, oke, badan, oke, otak, ya...
lumayanlah.
Kan ada olahraga sebagai penyeimbang.
Di dunia ini nggak semuanya sempurna.
Pasti ada yang kurang supaya kita nggak
disangka anak dewa. Toh selebihnya gue
yang paling oke dan paling tenar di
sekolah.Begitu gue lihat, semua cewek-
cewek menyingkir dengan tatapan
terpesona, dan begitu juga para
cowoknya, dengan tampang memelas
karena dicuekin sama cewek-cewek ini.
Yah, ini aja udah cukup kan, ngegambarin
siapa gue?Tapi kali ini kita nggak akan
ngebahas soal surat-surat yang ada di
laci meja gue, surat cinta maupun surat
tantangan, atau hadiah Valentine yang
sampai menumpuk (gue nggak suka
coklat gitu, paling di kasih sama anak
tetangga. Tuh, ada Dion umur 6 tahun
yang paling doyan ama coklat. Moga-
moga aja dia nggak tambun kayak
pemain sumo yang gue liat di TV),
ataupun ajakan jalan dari cewek-cewek
yang udah kasmaran ama gue.
Topik yang ngebosenin, tapi tetap aja
dibicarain. Eh, nggak. Bukan itu semua
kok.Ini tentang dia, cewek manis yang
nggak pernah terlihat sampai saat ini,
sampai aku pergi ke
perpustakaan.Namanya Dinda Aprilia,
kulihat namanya di daftar peminjam di
resepsionis. dia adalah peminjam tetap
yang minimal meminjam dua buku, dua
kali dalam seminggu. Datang setiap hari
Senin dan Kamis, begitu datang selalu
duduk di kursi nomor dua-dua, di
samping jendela yang menghadap ke
lingkungan sekolah kami. Kan gedung ini
ada di lokasi paling belakang dan di
tengah. Jadi kalau melihat ke luar jendela
yang ada di lantai dua itu, semua
lingkungan sekolah sampai ke gerbang
kelihatan semua.Tingginya biasa-biasa
saja. Kulitnya kuning langsat, rambutnya
sampai di atas dada, kelihatannya tipis
dan lembut. Wajahnya kalau membaca
buku... tenang sekali.
Mungkin karena cahaya matahari yang
menembus kaca jendela itu membuat
wajahnya bersinar?Entahlah, tapi waktu
menatapnya, rasanya sama sekali nggak
bisa berhenti. Melihatnya yang begitu
tenang, lembut dan konsentrasi, rasanya
nyaman sekali. Terkadang saking
konsentrasinya dia lupa pada keadaan
sekitar. Kadang sedih, deg-degan dan
tertawa sendiri waktu membaca buku.
Buku yang pernah dibacanya sangat
beragam. Dari buku komik, sampai buku-
buku tebal yang bahkan nggak aku tahu
judulnya.Tapi ada saatnya, waktu dia
nggak membaca, dia merenung melihat
keluar jendela sampai tertidur.
Manis sekali. Rasanya pengen banget
jadiin dia pacar.

Tapi……………………………………………..
Waktu tanpa sengaja berpapasan
dengannya (lebih sering di sengaja). Dia
nggak terpesona sama sekali ma aku!!!
Dia cuek banget dan nggak sadar kalau
aku lewat. Bahkan matanya nggak pernah
fokus melihat apapun. Harusnya dia bisa
sadar kalau ada aku kan? Aku punya
aura yang bisa membuat cewek-cewek
menoleh dalam jarak 24 meter. Tapi dia?!
Dalam perbedaan satu inci pun sama
sekali nggak perduli!Haaah.... kenapa aku
nggak ketemu dia sebelumnya ya? Nah,
lupa sudah kata 'gue' saking gregetnya
liat tu cewek. kayaknya gue harus bikin
rencana jitu buat tu cewek takluk (yah,
paling nggak sadar kalau gue itu
'ada')."Hai." Tanyaku mengambil kursi
dan duduk di depannya. lamunannya
langsung terpotong begitu saja untuk
melihat siapa yang datang. detik-detik
terasa jadi lebih lama sejak dia menengok
ke arahku. dia ini lagi mikirin apa sih?dia
lalu mengangguk, lalu meneruskan
lamunannya ke luar jendela. kalau dipikir-
pikir, nggak mungkin cuma melamun
kalau melihat keluar jendela bahkan
setelah disapa orang. jadi sebenarnya dia
sedang apa? masa lagi merhatiin orang?
pikirku ikut melihat ke luar
jendela."Mencari apa?" suara cewek
terdengar. kagetnya.... baru kali ini
kudengar suaranya. pandangan matanya
sama sekali nggak berubah. apa dia
punya radar?"Kamu sendiri? oh iya, kita
belum kenalan. namamu siapa?
namaku...""Roni." potong cewek itu.
matanya yang sendu masih tetap nggak
menatapku. "Playboy Legend at School.
kau terkenal sekali. namaku Dinda
Aprilia."baru sekali itu dia mata kami
bertemu. sinar mentari membuatnya lebih
berkilauan dari biasanya.
ini yang membuatku selalu penasaran.
sebenarnya... apa yang membuatku
begitu tertarik sama dia ya? yang paling
penting, sebenarnya dia itu lagi melihat
siapa?
“Kamu  sebenarnya lagi melihat apa sih?”
Pagi ini terlalu suntuk buat hari yang
cerah, dan di hari yang cerah ini sudah
ada pasar pagi yang terlihat begitu kita
membuka pintu. Di kelas XI yang jumah
muridnya nggak lebih dan nggak kurang
dari 40 orang ini, semua terlihat begitu
sibuk dengan grupnya masing-masing.
Ada beberapa option; grup gosip, grup
olahraga, atau grup iseng. Ada satu grup
kecil, yaitu grup rajin. Karena grup ini
anggotanya sedikit, kita coret saja dari
daftar. Yang jelas, grup-grup ini tercipta
karena satu alasan yang sama: nggak
ada kerjaan.“Pagi Roni....” Terdengar
salam centil di sebuah pagi yang cerah di
pasar pagi yang ada di kelasku.
Berbeda dari cewek-cewek pada
umumnya, cewek-cewek yang ada di
kelas ini merasa mendapat berkat yang
nggak boleh di sia-siain. Mereka merasa
bahwa sekelas denganku berarti boleh
melakukan apa saja denganku. Mulai dari
memberi salam, mengajak jalan, bahkan
membuat bekal. Dengan berbagai alasan
mereka mengajakku ngobrol.
Ngebosenin.“Ron, aku punya tiket...”“Gue
sibuk!!” potongku cepat. Nggak boleh ada
satu celahpun buat mereka. Tapi seperti
pepatah, ‘gugur satu tumbuh seribu’,
selalu saja ada yang nanya-
nanya.“Iiihh... kok Roni jadi dingin sih?”
Gerutu cewek-cewek itu. Dingin?
Gue?“Kau memang kelihatan dingin akhir-
akhir ini.” Tegas Chandra, siang ini.
Chandra, atau Chan si tenar dua di
sekolah ini. Kebetulan, dia tetangga yang
juga satu kelas dengan gue. Kebetulan,
dia Ketua OSIS en yang pasti berotak
encer. Kebetulan, dia jadi rival gue di tim
basket. Yah, sayangnya dia nggak punya
penampilan oke kayak gue. Entah karena
sibuk atau gimana, dia kucel dan nggak
pernah merhatiin penampilan. STOP!!
Lagi-lagi kebiasaan...“Kok bisa?” Gue
nggak percaya ini. Sampai Chandra
juga.“Biasanya kamu yang tingkat PDnya
tinggi nggak bakal nolak cewek kayak
gitu. Kau juga yang bilang, kalau cewek
itu harus diperlakukan baik, supaya
mereka senang.
Selama ini kalau nolak cewek, nggak
pernah tuh kamu bilang ‘sibuk’ dengan
nada ketus.”Iya ya. Sejak kapan gue jadi
begini? Sejak... sejak ketemu dengan
cewek itu... “Kamu belum jawab
pertanyaanku...” Gue akhirnya nanya lagi.
Sudah seminggu lebih dengan jadwal
yang sama, gue ngobrol sama dia.“Yang
mana?” Tanya dia balik. “Kan sudah ku
bilang, namaku Dinda Aprilia, kelas X.
Masa nanya tempat tinggalku juga?”“Eh,
nggak segitunya sih...” Jawabku cepat.
Dia jarang berekspresi macam-macam
kalo ngomong. Tapi kalo lagi baca, bisa
jadi makhluk seribu wajah. “Kamu kan
sering melihat keluar, bahkan sampai
bengong. Sebenarnya lagi nyari apa di
luar.”Dia terdiam menatapku. Tatapan
yang bisa membuat orang salah tingkah
karena seperti ditatap dalam-dalam,
heran dengan apa yang kutanyakan. “Aku
mencari cinta.”Cinta? Untuk apa mencari
cinta?“Kalau Roni tidak mungkin mencari
cinta. Cinta akan datang dengan
sendirinya. Pasti Roni berpikir seperti itu
kan?” Kenapa dia bisa baca pikiranku?!
Terseyum, dia merapikan buku yang
dibacanya. “Pernah Roni jatuh cinta?”Gue
ditanya pernah jatuh cinta sama anak
kelas 1?! Apa-apaan ini?!“Kayaknya
nggak pernah.
Karena terlalu banyak yang mengejar,
nggak sekalipun berpikir ada cinta
disana. Iyakan? Beda denganku, aku
Cuma punya satu cinta dalam
hidupku.”“O... First Love? Di sekolah ini?”
Tanya gue penasaran. “Siapa?”Lagi-lagi
dia diam. Kayaknya ragu-ragu gitu. Dia
menatap gue dan tersenyum kecil. “Ada.
Tenang aja, bukan Roni kok!!”Kok...
rasanya aneh ya. Gue kan Cuma
penasaran sama cewek ini? Kenapa
begitu dia bilang...“Kok ngomong gitu?
Memangnya aku kenapa?” Tanyaku
dengan tawa basa-basi.“Roni ke sini buat
kabur kan? Dari cewek-cewek yang di
sana itu.” Katanya melirik ke luar.
“Lagipula, kalau melihat Roni yang
menghadapi mereka, pasti Roni punya PD
yang tinggi. Aku nggak mau ada yang
salah paham melihat kita dekat begini,
dan kesempatanku kandas.”Bukan buat
gue... dia dari awal memang nggak suka
gue...Dia dari awal sudah punya orang
lain. Dan nggak bakal bisa berpaling ke
orang lain... TUNGGU DULU!!! KENAPA
JUGA GUE JADI KEPIKIRAN KAYAK
GINI!!!Gue ini orang paling oke di sekolah.
Nggak sedikit yang nge-fans sama gue.
Nggak sedikit yang gue terima, tolak n
gue abaikan gitu aja. Kenapa sama satu
cewek ini... satu cewek ini...“Lo betul-
betul suka sama cowok itu?” Tanya gue
sekali lagi. Dia mengangguk. “Bilang,
siapa namanya. Gue bakal bantu.”Dinda
tercengang sesaat. Dia menggeleng.
“Nggak usah, ini masalahku sendiri. Aku
nggak diam saja kok! Aku masih terus,
dan akan terus berusaha.”“Aku deket
sama dia dari SMP. Ternyata, begitu lulus
SMP, dia pindah ke SMA ini.
Padahal sekolah kami sampai SMA.
Mungkin karena pekerjaan orang tua. Tapi
kaget juga, begitu ketemu di sekolah ini,
dia berubah...”Berubah... berubah seperti
apa?“Ada apa lagi?” Tanya Chandra
mengagetkan gue dari belakang.“Nggak,
nggak ada apa-apa...
Cuma...”“Cuma?”“Ada
cewek ...”“Selamat!!”“Loh,
kenapa?”“Karena ada cewek...” Jawab
Chan simple.“Sialan lo..” gue nggak
tahan nggak senyum. “Gue serius nih!!
Nggak usah bahas cewek deh! Ndra, kalo
kita suka sama orang, trus waktu orang
itu pergi kita ikut, wajar nggak!!”“Dasar
idola. Sampai ada yang pindah ke sini
buat ngejar.” Kata Chandra. “Jadi dia
yang bikin kamu berubah? Jadi kamu
suka sama cewek itu ya?”“Nggaklah,
mana mungkin.” Jawabku cepat. “Gue
Cuma penasaran sama cewek itu. Gue liat
dia di perpus, terus gue ngobrol sama
dia. Terus...”“O... gitu ceritanya...” Potong
Chandra. “Kamu nggak suka sama dia.
Tapi kamu CINTA sama dia...”“Sudah gue
bilang!!! Bukan!!!” Huh!!! Gue bisa gila
kalau ngomong sama Chandra yang
kumat jahilnya! “Gue Cuma ngobrol
sebentar sama dia kok!! Dia yang selalu
duduk dekat jendela besar di lantai dua
itu, anak kelas 1 yang...”“Dinda... Aprilia?”
Gumam Chandra pelan. Bahkan seperti
berbisik.“Lo kenal, sama Dinda Aprilia?”
Tanyaku agak kaget. Chandra langsung
menggeleng. Dia menghindar. Chandra,
jangan-jangan lo...