Jumat, 30 November 2012

2008 DI PINGGIR SELOKAN

***
Pagi menjelang siang tadi, anak laki-laki saya, Keenan, tiba-
tiba menarik tangan saya dan menggiring saya menuju sendal
capit yang terparkir di teras depan. Saya sudah hafal aktivitas
yang dia maksud, sekaligus rute perjalanan yang menanti
kami. Inilah acara jalan kaki yang kerap ia tagih, yakni satu
kali putaran ke jalan belakang dimana tidak ada rumah di
sana, hanya tanah kosong berilalang tinggi. Jalan itu menurun
dan curam, berbatu-batu besar dan banyak dahan berduri di
pinggir kiri-kanan.
Terakhir kami berjalan ke sana, kaki Keenan sempat luka
karena tersobek duri, tapi entah mengapa ia selalu memilih
jalur yang sama. Sejak sebelum kami berjalan kaki, saya
sudah mengamati pagi pertama tahun 2008 ini. Langit yang
berawan, angin yang bertiup kencang, dan meski matahari
bersinar cukup terang dan terlihat angkasa biru di balik
timbunan awan, saya tak bisa mengatakan bahwa ini pagi
yang cerah. Masih terasa jejak mendung peninggalan hujan
semalam. Kendati demikian, pagi ini pun tak bisa disebut pagi
yang mendung. Sambil berjalan, saya merenungi kesan-kesan
saya mengenai pergantian tahun kali ini. Ada keinginan kuat
untuk menuliskan sesuatu, semacam refleksi dan sejenisnya.
Tapi saya tak tahu harus memulai dari mana, harus menulis
apa.
Yang ada hanyalah keinginan menulis, tapi tanpa konten.
Sejujurnya, alam pagi hari ini cukup mewakili apa yang saya
rasakan. Saya melewati pergantian tahun ini dengan 'bu-abu'.
Tak melulu berspiritkan optimisme dan positivitas, tak juga
melulu pesimistis dan negativitas. Semuanya hadir bersamaan
dengan kadar yang kurang lebih seimbang, sehingga rasa
yang tertinggal di batin saya adalah... netral dan datar.
Berbeda dengan kebiasaan saya, terutama di usia 20-an, yang
selalu rajin bahkan mensakralkan kebiasaan menulis resolusi,
evaluasi, pengharapan dan impian, kali ini saya tak
berbekalkan apaapa. Tak ada resolusi, tak ingin mengevaluasi.
Harapan dan impian, yang biasanya kita bawa layaknya
tongkat estafet dalam pacuan panjang bernama hidup ini, kali
ini bahkan absen dari tangan saya. Cengkeraman jemari saya
rasanya tak cukup kuat untuk itu. Bukannya kedua hal itu tak
ada, tapi malas rasanya menggenggam. Yang ada hanyalah
langkah demi langkah kaki di jalanan berbatu, bertemankan
suara gesekan ilalang dan terik matahari yang kian menggigit
tengkuk.
Keenan pun menolak digenggam. Dengan semangat, ia
berjalan dengan gagah berani tanpa mau saya gandeng. Ia
sibuk mengumpulkan batu-batu yang pada akhir perjalanan
kami akan dicemplungkannya satu demi satu ke selokan.
Dengan kedua tangan penuh bongkah batu, ia berjalan sedikit
di depan saya. Tepat di turunan curam, tiba-tiba ia tergelincir
dan jatuh menengadah. Seketika ia menangis, kaget bukan
main. Semua batu di genggamannya lepas. Cepatcepat saya
meraih dan memeluknya. Saya melihat sekeliling, betapa
banyak batu besar yang bisa saja menjadi landasan kepalanya
saat jatuh tadi. Saya pun menyadari perjalanan kecil ini bisa
jadi perjalanan yang berbahaya. Sambil terisak, Keenan
mengucap sendiri, "Tidak apa-apa... Keenan tidak apa-apa."
Dan entah mengapa, respons saya padanya adalah, "Ya, tidak
apa-apa. Keenan sekali-sekali harus tahu rasanya jatuh." Lalu
kami berdua meneruskan perjalanan. Tak sampai tiga langkah,
ia sudah minta turun lagi dari gendongan saya.
Kembali berjalan sendiri, memunguti batu-batu baru, yang
pada akhir perjalanan kami dicemplungkannya satu demi satu
ke selokan. Saya menunggui Keenan berupacara di pinggir
selokan sambil merenungi perjalanan kami pada pagi hari
pertama tahun 2008 ini. Akhirnya saya mendapatkan sebuah
'pesan'. Terlepas dari kepercayaan kita pada sosok Tuhan
personal maupun impersonal, semua dari kita setidaknya
pernah merasakan hadirnya sebuah kekuatan, energi agung,
atau apapun itu, yang tak luput menemani setiap langkah
perjalanan hidup kita. Saat kita asyik berjalan, mengumpulkan
segala sesuatu yang kita ingin raih, kita tak terlalu
menghiraukan kehadiran 'sesuatu' itu. Namun saat kita
tergelincir dan terenyak luar biasa, segala sesuatu yang kita
cengkeram pun lepas.
Tangan kita kembali kosong. 'Sesuatu' itu akhirnya punya
kesempatan untuk muncul dan menyeruak, meraih tangan kita
yang sedari tadi sibuk menggenggam. Lama atau sekejap kita
didekap, selama perjalanan ini belum usai, tak urung kita akan
kembali melangkah. Mengumpulkan kembali pengalaman demi
pengalaman yang kita perlukan. Sambil berjongkok di pinggir
selokan, saya merenungi 'batu-batu' yang selama ini saya
genggam. Besar-kecil, jelek-bagus, semua itu saya kumpulkan
karena itulah yang saya perlukan. Jika hidup adalah siklus
berputar dalam satu pusaran, cukup relevan jika saya
menganalogikannya dengan trayek yang saya tempuh hampir
setiap hari bersama Keenan itu. Jalanan berselimut batu, yang
meski begitu sering saya jalani, tak pernah saya tahu batu
mana yang akan saya genggam berikutnya, dan batu mana
yang akan saya lepas sesudah ini.
Tak pernah juga saya tahu, kapan saya akan tergelincir dan
terpaksa melepaskan semua yang selama ini erat digenggam.
Sekalipun tahun baru ini saya songsong tanpa resolusi dan
evaluasi, ada satu keyakinan yang mengiringi langkah saya
pulang ke rumah pagi ini. Jika batu dalam genggaman tangan
saya lepas, berarti sudah saatnyalah ia lepas. Jika perjalanan
ini belum usai, maka kaki ini meski lelah dan penat akan
kembali terus melangkah. Jika saya tergelincir nanti, maka
sesuatu akan menyeruak muncul dari kekosongan, meraih
tangan saya yang hampa dan kembali membawa saya bangkit
berdiri.
Saya tak ingin memberinya nama. Saya tak ingin menjeratnya
dalam sebuah identitas. Yang saya tahu, saya bersisian
dengannya. Seperti partikel dengan gelombang. Seperti alam
material dan imaterial. Sedikit batu atau banyak batu,
melangkah cepat atau lambat, tergelincir atau terjerembap, ia
berjalan seiring dengan napas dan denyut saya. Ia
membutuhkan saya sama halnya dengan saya
membutuhkannya. Dan hanya dalam keheningan, kami berdua
hilang. Dalam keheningan, kami bersatu dalam ketiadaan.
Mendadak, adanya resolusi atau tidak, bukan lagi satu hal
signifikan. Mendadak, hari ini menjadi hari yang sama
berharganya sekaligus sama biasanya dengan hari-hari lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar