Jumat, 30 November 2012

CINTA TAK BERTUAN

*##*
Sepanjang hidup, kita seolah tak berhenti berusaha
menaklukkan cinta. Cinta harus satu, cinta tak boleh dua, cinta
maksimal empat, dan seterusnya. Jika cinta matematis, pada
angka berapakah ia pas dan pada angka berapakah ia
bablas? Dan kita tak putus merumuskan cinta, padahal
mungkin saja cinta yang merumuskan kita semua. Infinit
merangkul yang finit. Hidup berpasangan katanya sesuai
dengan alam, seperti buaya yang hidup monogami tapi
ironisnya malah menjadi ikon ketidaksetiaan.
Namun terkadang kita melihat seekor jantan mengasuh sekian
banyak betina sekaligus, berparade seperti rombongan sirkus.
Dan itu pun ada di alam. Lalu ke mana manusia harus
bercermin? Sebagaimana semua terpecah menjadi dua kutub
dalam alam dualitas ini, terpecahlah mereka yang percaya
cinta multipel pastilah sakit dan khianat dengan mereka yang
percaya cinta bisa dibagi selama bijak dan bajik. Yang satu
bicara hukum publik dan nurani, yang satu bicara hukum
agama dan kisah hidup orang besar. Yang satu mengusung
komisi anti itu-ini, yang satu menghadiahi piala poligami.
Merupakan tantangan setiap kita untuk meniti tali
keseimbangan antara intuisi individu dan konsensus sosial.
Sukar bagi kita untuk menentukan dasar neraca yang
mensponsori segala pertimbangan kita: apakah ini urusan
salah dan benar, atau sebetulnya cocok dan tak cocok? Jika
urusannya yang pertama, selamanya kita terjebak dalam debat
kusir karena setiap orang akan merasa yang paling benar. Jika
urusannya yang kedua, masalah akan lebih cepat selesai.
Kecocokan saya bukan berarti kecocokan Anda, dan
sebaliknya. Namun seperti yang kita amati dan alami, lebih
sering kita memilih yang pertama agar berputar dalam debat
yang tak kunjung selesai. Semalam, saya menerima sms
massal yang mengatasnamakan ibu-ibu seluruh Indonesia
yang mengungkapkan kekecewaannya pada seorang tokoh
yang berpoligami. Pada malam yang sama, sahabat saya
menelepon dan kami mengobrolkan konsep poliamori
(hubungan cinta lebih dari satu). Alhasil, saya terbawa untuk
merenungi beberapa hal sekaligus.
Pertama, orang yang kita kenal sebatas persona memang
hanya kita miliki personanya saja. Persona adalah lapisan
informasi paling rapuh, pengenalan paling dangkal, dan oleh
karena itu paling cepat musnah. Orang yang tidak kita kenal
paling gampang untuk dijustifikasi ketimbang orang yang kita
kenal dekat.
Kedua, apakah monogami-poligami dan monoamori-poliamori
ini adalah sekat-sekat tegas yang menentangkan nurani
versus ego dan 'setia' versus 'buaya'? Mungkinkah dikotomi
itu sesungguhnya proses cair yang senantiasa berubah sesuai
tahapan yang dijalani seseorang, ketimbang karakteristik baku
yang harus dipilih atau distigmakan sekali seumur hidup?
Sungguh tidak mudah menjadi seseorang yang personanya
diklaim sebagai milik umat banyak. Persona seperti secabik
tisu yang dengan mudah dienyahkan, diganti dengan tisu baru
lainnya yang dianggap lebih bagus dan benar. Banyak dari kita
bermimpi dan berjuang mati-matian agar secabik diri kita
dimiliki banyak orang.
Hidup demikian memang sepintas menyenangkan dan
menguntungkan, meski konsekuensinya titian tali yang kita
jalani semakin tipis. Ilmu keseimbangan kita harus terus
diperdalam. Tali itu harus dijalani ekstra hati-hati. Tidak
mudah juga menjadi seseorang yang sangat teguh berpegang
pada persona orang lain, pada mereka yang dianggap tokoh,
teladan, panutan. Status selebriti bisa ada karena persona
yang dipabrikasi massal lewat media lalu 'selebaran'-nya
menjumpai kita, dan kita pungut. Kita mengoleksi persona
mereka seperti pemungut selebaran. Terkadang kita lupa,
pengenalan dan pemahaman kita hanya sebatas iklan yang
tertera. Oleh karenanya justifikasi yang kita lakukan seringnya
bagai memecah air dengan batu; sementara dan percuma
saja. Tak terasa efeknya bagi hidup kita, tak juga bagi hidup
yang bersangkutan.
Kita yang kecewa barangkali bukan karena cinta telah
diduakan. Cinta tak bertuan. Kitalah abdiabdi cinta, mengalir
dalam arusnya. Persepsi kitalah yang telah diduakan. Lalu kita
merasa sakit, kita merasa dikhianati. Namun tengoklah apa
yang sungguh-sungguh kita pegang selama ini. Perlukah kita
ikut berteriak jika yang kita punya hanyalah selebarannya saja,
bukan barangnya? Barangkali ini momen tepat untuk
mengevaluasi aneka selebaran yang telah kita kumpulkan dan
kita percayai mati-matian. Betapa seringnya kita hanyut dalam
kecewa, padahal persepsi kitalah yang dikecewakan. Betapa
seringnya kita menyalahkan pihak lain, padahal
ketakberdayaan kita sendirilah yang ingin kita salahkan.
Apapun persepsi kita atas cinta, tak ada salahnya bersiap
untuk senantiasa berubah. Jika hidup ini cair maka wadah
hanyalah cara kita untuk memahami yang tak terpahami.
Banyak cara untuk mewadahi air, finit mencoba merangkul
infinit, tapi wadah bukan segalanya. Pelajaran yang
dikandungnyalah yang tak berbatas dan selamanya tak
bertuan, yang satu saat menghanyutkan dan melumerkan
carik-carik selebaran yang kita puja. Siap tak siap, rela tak
rela.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar