Jumat, 30 November 2012

UNTUK SAHABAT

***
Ketika dunia terang, alangkah semakin indah jikalau ada
sahabat disisi. Kala langit mendung, begitu tenangnya jika
ada sahabat menemani. Saat semua terasa sepi, begitu
senangnya jika ada sahabat disampingku. Sahabat.
Sahabat. Dan sahabat. Ya, itulah kira-kira sedikit tentang
diriku yang begitu merindukan kehadiran seorang
sahabat. Aku memang seorang yang sangat fanatik pada
persahabatan.
Namun, sekian lama pengembaraanku mencari sahabat,
tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah
hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir
itu akan memudahkanku mencari sahabat.
Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam
orang disini belum juga bisa kujadikan sahabat. Tiga
tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam
menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang
abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap dalam tiga
tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan
sahabat. Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru
meninggalkanku kala ku membutuhkannya. “May, nelpon
yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir
kuanggap sahabat, Riea pada ‘sahabat’ku yang lain saat
kami di perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya,
‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris bawahi, dia tak
mengajakku.
Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun.
Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan
bersama. Huh, apalagi yang bisa kulakukan. Aku
melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan
tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah menghadapi
kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku selalu
merasa tak punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur
lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi kuanggap sahabat.
Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya.
Aku menutup wajahku dengan bantal. Tangis yang selama
ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak lagi terbendung.
Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak
juga sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri.
Sendiri dalam sepi begitu mengerikan. Apa kurangku
sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi
meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu
banyak pengorbanan yang kulakukan untuk sahabat-
sahabatku, tapi lagi-lagi mereka ‘menjauhiku’. “Faiy, lo
kenapa sih ? kok nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku
begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa, Vy,” aku
mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika
kumaknai. “Faiy, tau nggak ? tadi gue ketemu loh sama
dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita
tentang lelaki yang dia sukai. Aku tak begitu berharap
banyak padanya untuk menjadi sahabatku.
Kurasa semua sama. Tak ada yang setia. Kadang aku
merasa hanya dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu.
Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka
selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya, Lara
malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama
dia. Dia yamg dulu paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy
curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya,
dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah
mengapa mereka jadi menjauh begitu. “Yah, Vy. Jangan
merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku
menerawang,” Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu
bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu
menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga,
berarti jelas kita ngga ingat Dia,” kata-kata itu begitu saja
mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu
juga tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini
melupakanmu. Padahal Dia selalu bersamaku.
Tetapi aku masih sering merasa sendiri. Sedangkan Allah
setia bersama kita sepanjang waktu. Bodohnya aku. Aku
ngga pernah hidup sendiri. Ada Allah yang selalu
menemaniku. Dan seharusnya aku sadar, dua malaikat
bahkan selalu di sisiku. Tak pernah absen menjagaku.
Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Dia akan selalu
mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman. Malah
mendapat solusi. Silvy tiba-tiba memelukku. “Sorry
banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo
yang selalu nemenin gue, dengerin curhatan gue, ngga
pernah bete sama gue. Dan lo bisa ngingetin gue ke Dia.
Lo shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat kita
sebentar lagi berpisah…” Silvy tak kuasa menahan
tangisnya.
Aku merasakan kehampaan sejenak. Air mataku juga ikut
meledak. Akhirnya, setelah aku sadar bahwa aku ngga
pernah sendiri dan ingat lagi padaNya, tak perlu aku yang
mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’ pada seseorang.
Bahkan malah orang lain yang membutuhkan kita sebagai
sahabatnya. Aku melepaskan pelukan kami. “ Makasih ya,
Vy. Ngga papa koki kita pisah. Emang kalau pisah,
persahabatan bakal putus. Kalau putus, itu bukan
persahabatan,” kataku tersenyum. Menyeka sisa-sisa air
mataku. Kami tersenyum bersama. Persahabatan yang
indah, semoga persahabatan kami diridoi Allah. Sahabat
itu, terkadang tak perlu kita cari. Dia yang akan
menghampiri kita dengan sendirinya. Kita hanya perlu
berbuat baik pada siapapun. Dan yang terpenting, jangan
sampai kita melupakan Allah. Jangan merasa sepi. La
takhof, wala tahzan, innallaha ma’ana..Dia tak pernah
meninggalkan kita. Maka jangan pula tinggalkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar