Jumat, 30 November 2012

Mengenang Sendok dan Sedotan

...
Di tengah sawah dan hotel mewah di Ubud, saat saya dan
beberapa rekan penulis diminta hadir oleh UNAIDS untuk
program pengenalan HIV/AIDS. Saya sempat bertanya dalam
hati: adakah titik balik di mana virus mematikan itu dapat
menjadi akselerator kehidupan? Dan 'hidup' dalam konteks ini
artinya bukan berapa lama kita bernapas, melainkan seberapa
bermakna kita mampu memanfaatkan hidup, mortalitas yang
berbatas ini? Momen serupa saya alami ketika menghadiri
peluncuran buku almarhumah Suzanna Murni, seorang aktivis
HIV/AIDS yang mendirikan Yayasan Spiritia.
Saya terenyak dan terhanyut membaca buku Suzanna.
Pertama, karena otentisitas dan kejujurannya. Kedua, karena
Suzanna adalah seorang penulis yang sangat bagus. Dan
kembali saya merenung, HIV bisa jadi hadiah terindah yang
didapat oleh Suzanna Murni. Dengan mengetahui keberadaan
bom waktu yang dapat menyudahi hidupnya setiap saat,
Suzanna menggunakan energi dan waktunya untuk
membangun, membantu, dan berkarya.
Sementara kebanyakan dari kita menjalani hari-hari seperti
mayat hidup yang bergerak tapi mati, ada dan tiada, tanpa
makna dan tujuan, tanpa menghargai keindahan dan
keajaiban proses bernama hidup. Saya lalu kembali dihubungi
oleh UNAIDS untuk menjadi mentor dalam program pelatihan
menulis bagi para ODHA. Dan di sinilah untuk pertama kalinya
saya berinteraksi dekat dengan teman-teman ODHA.
Sejujurnya, saya merasa tidak perlu mencantumkan
keterangan 'ODHA', yang seolah-olah memagari mereka
dengan saya atau dengan orang-orang lain. Sama halnya
seperti saya merasa tidak perlu mengatakan 'teman-teman
leukeumia' atau 'teman-teman hipertensi'. ODHA pasti mati,
saya yang bukan ODHA juga pasti mati. Bom waktu itu ada di
mana-mana. Kematian adalah jaminan, sebuah kepastian.
Caranya saja yang bervariasi, hasil akhir toh sama.
Di sebuah penginapan di Karang Setra, saya berkenalan
dengan empat peserta program mentoring. Saya mengamati
mereka satu per satu, yang kebetulan semuanya perempuan.
Satu bertubuh kecil mungil. Dua peserta lain posturnya jauh
lebih berisi ketimbang saya. Satu sedang mengandung enam
bulan. Tugas demi tugas mereka lakukan dengan cemerlang,
bahkan di luar dugaan. Hanya ada satu program yang kami
terpaksa batalkan: menulis di kebun binatang. Pada saat itu
isu flu burung sedang santer-santernya di kota Bandung, dan
demi keamanan kondisi kesehatan mereka, kami memutuskan
untuk tidak pergi. Barulah saya merasakan ada restriksi itu,
kondisi-kondisi khusus yang membedakan ruang gerak kami.
Selebihnya, tak terasa ada perbedaan sama sekali. Di luar dari
isi tulisan mereka, tidak ada kesedihan atau keputusasaan
yang terungkap.
Tak seperti reklame tentang ODHA yang selama ini beredar
dan mengeksploitasi ketidakberdayaan, terkapar kurus kering
kerontang menunggu ajal. Saya hanya berkenalan dengan
pergumulan mereka lewat apa yang mereka tulis. Dari sanalah
saya mencoba memahami beragam proses yang mereka
lewati dengan HIV, terutama implikasinya terhadap semua
yang mereka kenal keluarga, teman-teman, kekasih, dan
seterusnya. Saat kami mengobrol langsung, yang ada
hanyalah tawa. Dan saya tersadar, kekuatan itu bisa hadir
karena mereka tahu bahwa mereka tidak sendiri. Konseling,
penerangan, aktivitas, dan kebersamaan, dapat menyalakan
pelita dalam diri mereka untuk menjadi kekuatan dan bukan
menjadi yang terbuang.
Pada malam terakhir pelatihan, salah satu fasilitator
berulangtahun dan merayakannya di restoran di Dago Pakar.
Sebagaimana hari-hari mentoring, kami asyik mengudap
sambil menghadap ke lembah kota yang menyala pada malam
hari. Sambil mengobrol dan ketawa-ketiwi, kami mencicip-
cicip makanan dan minuman satu sama lain. Hingga kami
berpisah, saya kembali ke rumah, dan tiba-tiba telepon
genggam saya berbunyi. Sebuah pesan masuk: Mbak, makasih
ya buat malam ini. Kami terkesan sekali Mbak mau berbagi
sendok dan sedotan dengan kami karena ortu saja belum tentu
mau.
Terima kasih sudah menambah kepercayaan diri kami. Lama
saya terdiam, memikirkan apa gerangan yang telah saya
lakukan. Momen sepanjang di restoran itu rasanya berlalu
wajar-wajar saja. Lama baru saya ingat, dalam acara saling
coba-cobi tadi, saya telah menghirup minuman dari gelas
memakai sedotan yang mereka pakai, lalu mencicip es krim
dengan sendok yang mereka pakai. Lama saya termenung,
mengenang sedotan yang sekian detik mampir di bibir saya,
mengingat sendok yang sekian detik menghampiri lidah saya.
Betapa hal kecil yang saya lewatkan begitu saja ternyata
menjadi perbuatan besar dan berkesan di mata mereka. Dan
barangkali demikian pula halnya dengan rangkaian keajaiban
dalam hidup ini. Sering kita berjalan mengikuti arus tanpa
sempat lagi mengamati keindahan-keindahan besar yang
tersembunyi dalam hal-hal kecil yang kita lewati.
Kita menanti perbuatan-perbuatan agung yang tampak megah
dan melupakan bahwa dalam setiap tapak langkah ada
banyak kesempatan untuk melakukan sesuatu yang bermakna.
Jika saja virus itu tidak ada dalam darah mereka, perbuatan
spontan saya tidak akan berarti. Saya mungkin tidak akan
dikirimi pesan itu, dan saya tidak akan merenungi hal ini.
Pertanyaan saya di Ubud terjawab dengan sebuah
pengalaman. Pada satu titik, virus itu telah menyentuh hidup
saya. Menjadi akselerator kehidupan saya. Bukan untuk
memperlama denyut jantung, tapi mengajarkan saya bahwa
hidup itu amat berharga dan selalu kaya makna, andai saja
kita memilih untuk mengetahuinya. Suzanna Murni tahu hal itu.
Demikian pula para peserta mentoring tadi. Saya hanya
berharap mereka terus mengingatnya, demikian juga kita.
Pesan singkat itu dikirim tanggal 13 Mei 2006, dan masih saya
simpan hingga hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar