Senin, 03 Desember 2012

MATA YANG BERLABUH

Karya: Putroe Bendahara

Matahari kelabu. Udara bisu.Tak ada
suara lengkingan renyai yang menyeruak
seperti biasanya setiap kali ia jejakkan
kaki di daratan yang berpasir. Tidak pula
suara perempuan yang lantang, yang
dengan lari-lari kecilnya, menghalau anak
yang berlarian di depannya itu dari air
laut yang merambati kaki mereka.
semuanya telah menghilang.
Tapi masih ada yang belum ditemukan.
Karena itu, Abdullah, laki-laki yang
berjalan terseok itu, terus mencari-cari.
Tangannya telah lelah, hampir tak
sisakan tenaga. Tapi gelombang di
dadanya lebih besar daripada kehendak
tubuhnya. Ia paksakan kakinya
melangkah meski nyeri mulai menusuk
pada memar kakinya.
Abdullah hentikan langkah. Layangkan
matanya pada langit. Ia tidak tahu lagi
apakah ini siang atau malam. Waktu telah
berhenti sejak peristiwa itu. Tapi ia butuh
waktu untuk mengais sisa tenaganya.
Lalu apa yang masih menggerakkannya?
Tubuh? Tidak. Tubuh itu sudah tidak
berfungsi lagi. Namun, kalau pun kaki itu
harus dicabut dari tungkainya, Abdullah
akan terus berjalan. Semuanya memang
telah sirna. Tapi masih ada yang
tertinggal. Karena itu, ia masih mencari.
Sepanjang beberapa depa, Abdullah
kembali menghentikan langkah. Kakinya
dilanda nyeri. Seribu semut merah seperti
menggigiti urat kakinya. Abdullah
Memijit-mijitnya dengan perlahan. Hanya
istirahat sejenak. Sebab sesudahnya,
dengan rasa sakit yang masih menyisa,
Abdullah berjalan kembali.
Mungkin rasa sakit itu sudah hilang.
Bersama tumpahan air mata yang
membanjir berhari-hari sebelumnya
hingga tak menyisa. Meskipun ia minum
seluruh air laut di Pantai Ulee Lheu, itu
takkan bisa menggantinya. Abdullah pun
telah menghapus air mata itu dalam
catatan di darahnya. Seperti beku telah
membungkus hatinya. Hanya dengan
mata ia berjalan. Mata yang
gelap.Berhari-hari yang lalu, Abdullah
telah jelajahi seluruh tempat. Puing-puing
yang luruh. Mayat-mayat yang serak. Ada
tetangganya, teman melaut, teman
anaknya yang sering menunggui kapal
ikan datang, penjaga surau kampung.
Namun ia tak ada di sana. Karena itu,
Abdullah terus mencari.''Sudahlah,
Abdullah. Istirahatlah sejenak. Badanmu
sudah letih.''
Ia tidak begitu awas, apakah itu suara
istrinya atau tetangganya.
''Nanti saja.
Aku selesaikan dulu pekerjaan ini. Nanti
aku kembali.''
Tidak. Ia telah berbohong pada istrinya.
Kembali? Aku belum menemukan yang
kucari, maka aku tidak akan kembali.
Lagipula kemana aku akan kembali?
Abdullah menggeleng-gelengkan
kepalanya. Tak kan ada langkah surut,
suara hati Abdullah kuatkan
langkahnya.Istrinya memang memahami
sikapnya. Batu yang keras itu tak akan
mudah dilebur dalam satu pukulan
kampak.''Anakmu sudah menanti.
Mengapa engkau masih tak tahu juga,
Abdullah. Bukankah engkau tahu mereka
sudah menantimu untuk makan
siang.''Sedetik tubuh Abdullah mengeras.
Matanya tajam menentang ke atas. Ada
yang dicarinya di sana. Tapi tak ada apa-
apa. Langit tak biru.
Merah memantul dari lensa matanya.
Hanya angin yang berkesiur. Selebihnya
tak ada.
''Nantilah. Nanti saja. Aku belum ingin
pulang.''
''Apa yang kau cari, wahai Abdullah? Kau
tak turuti anjuran istrimu.
Mengapa engkau masih bengal juga,
Abdullah!
''Itu suara ayahnya. Suaranya keras,
seperti dirinya. Abdullah tak peduli.
''Kemana engkau akan pergi, anakku?''
perempuan yang matanya kelabu
memanggilnya serupa angin.''Tak usah
hiraukan aku, Bu.''Abdullah terus
berjalan. Kakinya yang menyusut dari
waktu ke waktu dan makin kehilangan
daya tak mampu kalahkan kehendaknya.

Mayat-mayat bergelimpangan seperti rongsokan. Bau sengat
yang mengundang kerumunan lalat menggunduk di setiap
setiap tempat. Tapi Abdullah tak hiraukan itu. Matanya yang
berpijar merah melata, susuri setiap mayat yang
bergelimpangann itu. Tangannya mengorek satu demi satu
mayat yang terhampar di kakinya.
''Ia tak ada di sana !''
Ibunya berseru. Rambut peraknya berkeriyap dihembus angin.
Abdullah tidak ingin mendengar. Kakinya terus ia seret.
''Pulanglah, Abdullah. Maka kau akan menemukannya,'' suara
ibunya memanggil lagi. Langkahnya makin melata. Seluruh
sendi-sendi kakinya bergetar, merambat ke engsel tubuhnya.
Tapi Abdullah tak mau mengalah pada keadaan tubuhnya. Ia
seret kakinya dengan sisa tenaga. Jalan ibarat pasir yang
menusuk luka di tubuhnya. Serakan mayat itu masih
bergelimpangan di kanan-kiri. Halangi langkah tubuhnya yang
makin ringkih. Mata-mata mereka membuka. Seperti hendak
menyampaikan pesan pada Abdullah.
''Sudahlah, Abdullah. Pulanglah ke rumah.''
Abdullah singkirkan suara-suara itu dari udara. Langit
menjadi-jadi bekunya. Hanya ada suaranya yang mengapai-
gapai udara. Ia hampir kehilangan keseimbangan ketika kaki
kanannya menabrak tubuh yang membujur. Tubuhnya
mencoba menahan lengkung badannya yang hampir jatuh ke
tanah. Tapi bumi seperti ingin memeluknya dan
merengkuhnya. Berat badannya condong ke tanah.
Bunyi berdebam memecah sunyi ketika tubuhnya yang labil
menimpa mayat itu. Mata yang putih. Seperti daun jendela
yang membuka lebar. Menyeret Abdullah masuk dan terhisap
ke dalamnya. Mata yang berkata. Mengapa kau tak yakin ini
semua, Abdullah. Kemana kau campakkan imanmu itu.
Pulanglah. Kembalilah ke rumahmu.
Abdullah menggeram.
Diamlah. Semuanya sudah kosong. Hambur oleh angin yang
membawa pergi. Hanya satu yang masih tersisa. Aku sedang
mencarinya dan ingin membuktikan keberadaan-Nya. Jadi
singkirkan kakimu, hai mayat yang tak punya rasa. Tak ada
yang dapat menghalangi langkahku.
Dengan menahan sakit pada tangan kirinya yang menimpa
aspal kasar, tangan Abdullah menjangkau tongkat kayu
dengan tangan kanannya. Ketika tumpuannya telah kukuh,
Abdullah menaikkan tubuhnya ke atas. Begitu susah payah ia
menegakkan tubuh. Tapi siapakah yang bisa mengalahkan
kekerasan hatinya?
Setelah tubuhnya tegak seimbang, Abdullah menendang mayat
itu. Ia injak dengan kaki kanannya yang masih menyimpan
tenaga. Lalu mendengus.
Jalan yang ditempuh Abdullah makin menyempit dalam
pandangan matanya yang kelabu. Tapi ia terus berjalan.
Beberapa depa di depannya, Abdullah tersentak. Masjid
Baiturrahman masih berdiri tegak. Seperti mercusuar tinggi di
tengah lautan puing-puing yang menyerak. Warnanya yang
putih pantulkan kilau matahari ke seluruh padang yang luas.
Padang mahsyar.
Abdullah semakin kebut langkahnya. Seperti roda, kakinya
yang pincang bergerak cepat. Ia berlari. Seperti kuda sembrani
yang melintas di permukaan laut yang tenang.
''Mau kemana engkau, Abdullah?''
Abdullah tak menjawab. Ia terus seret langkahnya. Menekan
gemuruh yang berputar dahsyat di kepalanya. Adakah Engkau
di sana? Dadanya bergetar hebat. Sudah habis air matanya
sejak berhari-hari lalu. Tapi apa yang ada di dadanya ini?
Begitu hebat guncangannya, begitu keras gemuruhnya. Ketika
tak ada lagi yang bisa menahannya, Abdullah meraung hebat.
Seluruh persendiannya patah dan lunglai. Ia terjerambab
dengan tubuh kehilangan daya. Dan terduduk di teras masjid
dengan mata yang buta. Dengan tubuh yang tergugu. Adakah
badai yang lebih besar dari ini, Ya Allah? Abdullah menangis.
Hatinya basah.
''Apakah engkau menemukannya, Abdullah?'' Suara yang jauh
meruapi telinganya.
Dagu Abdullah mengangguk makin hebat. Air mata
menggenang di wajahnya. Membasah di janggutnya yang
tipis. Seperti kilau minyak zaitun. Tak sanggup gelombang
suara keluar dari kerongkongannya yang tercekat. Hanya lirih
yang mengisi udara.
''Bagaimana mungkin, bukankah matamu telah buta,
Abdullah?'' Suara yang lembut menghunjam dadanya.
Air mata Abdullah makin menderas. Tubuhnya lumpuh. Tak
kuat menahan guncangan yang kuat dalam dadanya. Matanya
memang telah buta. Sejak gelombang pasang itu meraup
seluruh hidupnya. Ia tak melihat apa-apa lagi. Tapi air mata
yang membasuh hatinya membukakan semua pintu yang
terkatup.
Ia seakan melihat istrinya, ibunya, bapaknya, dan Ibrahim
anaknya melambaikan tangan ke arahnya. Lalu di sebelah-
sebelahnya, tetangga rumah, teman sesama nelayan. Senyum
mereka merekah. Ikhlas. Seperti kuntum-kuntum embun yang
membeningkan pagi. Lalu perlahan semuanya mengabur
serupa kabut yang membias di fajar subuh.
Suara adzan menyayat telinganya. Abdullah merasa tubuhnya
melayang dalam udara. Menyatu dalam ruang hampa. Ketika
tersadar, ia melihat tubuhnya bersimpuh di depan mihrab
masjid. Begitu kecil. Dan tanpa daya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar