Senin, 03 Desember 2012

PERSAHABATAN SUNYI

DI sebuah jembatan penyeberangan tak beratap, matahari
menantang garang di langit Jakarta yang berselimut karbon
dioksida. Orang-orang melintas dalam gegas bersimbah peluh
diliputi lautan udara bermuatan asap knalpot. Lelaki setengah
umur itu masih duduk di situ, bersandarkan pagar pipa-pipa
besi, persis di tengah jembatan. Menekurkan kepala yang
dibungkus topi pandan kumal serta tubuh dibalut busana
serba dekil, tenggorok di atas lembaran kardus bekas air
kemasan. Di depannya sebuah kaleng peot, nyaris kosong dari
uang receh logam pecahan terkecil yang masih berlaku. Dan,
di bawah jembatan, mengalir kendaraan bermotor dengan
derasnya jika di persimpangan tak jauh dari jembatan itu
berlampu hijau. Sebaliknya, arus lalu lintas itu mendadak
sontak berdesakan bagai segerombolan domba yang terkejut
oleh auman macan, ketika lampu tiba-tiba berwarna merah.
Lelaki setengah umur yang kelihatan cukup sehat itu akan
"tutup praktik" ketika matahari mulai tergelincir ke Barat.
Turun dengan langkah pasti menuju lekukan sungai hitam di
pinggir jalan, mendapatkan gerobak dorong kecil beroda besi
seukuran asbak. Dari dalam gerobak yang penuh dengan
buntelan dan tas-tas berwarna seragam dengan dekil
tubuhnya, ia mencari-cari botol plastik yang berisi air entah
diambil dari mana, lalu meminumnya. Setelah itu ia bersiul
beberapa kali. Seekor anjing betina kurus berwarna hitam
muncul, mengendus-endus dan menggoyang-goyangkan
ekornya. Ia siap berangkat, mendorong gerobak kecilnya
melawan arus kendaraan, di pinggir kanan jalan. Anjing kurus
itu melompat ke atas gerobak, tidur bagai anak balita yang
merasa tenteram di dodong ayahnya.
Melintasi pangkalan parkir truk yang berjejer memenuhi
trotoar, para pejalan kaki terpaksa melintas di atas aspal
dengan perasaan waswas menghindari kendaraan yang
melaju. Lelaki itu lewat begitu saja mendorong gerobak
bermuatan anjing dan buntelan-buntelan kumal miliknya
sambil mencari-cari puntung rokok yang masih berapi di
pinggir jalan itu, lalu mengisapnya dengan santai. Orang-
orang menghindarinya sambil menutup hidung ketika
berpapasan di bagian jalan tanpa tersisa secuil pun pedestrian
karena telah dicuri truk-truk itu.
Lelaki setengah umur itu memarkir gerobak kecilnya di bawah
pokok akasia tak jauh setelah membelok ke kanan tanpa
membangunkan anjing betina hitam kurus yang terlelap di
atas buntelan-buntelan dalam gerobak itu. Ia menepi ke
pinggir sungai yang penuh sampah plastik, lalu kencing begitu
saja. Ia tersentak kaget ketika mendengar anjingnya terkaing.
Seorang bocah perempuan ingusan yang memegang
krincingan dari kumpulan tutup botol minuman telah
melempari anjing itu. Lelaki itu berkacak pinggang, menatap
bocah perempuan ingusan itu dengan tajam. Bocah
perempuan ingusan itu balas menantang sambil juga berkacak
pinggang. Anjing betina hitam kurus itu mengendus-endus di
belakang tuannya, seperti minta pembelaan.
Lelaki itu kembali mendorong gerobak kecilnya dengan bunyi
kricit- kricit roda besi kekurangan gemuk. Anjing betina kurus
berwarna hitam itu kembali melompat ke atas gerobak,
bergelung dalam posisi semula. Bocah perempuan yang
memegang krincingan itu mengikuti dari belakang dalam jarak
sepuluh meteran. Bayangan jalan layang tol dalam kota,
melindungi tiga makhluk itu dari sengatan matahari.
Sementara lalu lintas semakin padat, udara semakin pepat
berdebu.
Tiba-tiba, lelaki setengah umur itu membelokkan gerobak
kecilnya ke sebuah rumah makan yang sedang padat
pengunjung. Dari jauh, seorang satpam mengacung-acungkan
pentungannya tinggi-tinggi. Lelaki itu seperti tidak
memedulikannya, terus saja mendorong hingga ke lapangan
parkir sempit penuh mobil di depan restoran itu. Sepasang
orang muda yang baru saja parkir hendak makan, kembali
menutup pintu mobilnya sambil menutup hidung ketika lelaki
itu menyorongkan gerobaknya ke dekat mobil sedan hitam itu.
Seorang pelayan rumah makan itu berlari tergopoh- gopoh
keluar, menyerahkan sekantong plastik makanan pada laki-laki
itu sambil menghardik.

"Cepat pergi!"

LELAKI setengah umur itu menghentikan gerobak kecilnya di
depan sebuah halte bus kota. Mengeluarkan beberapa koin
untuk ditukarkan dengan beberapa batang rokok yang dijual
oleh seorang penghuni tetap halte itu dengan gerobak
jualannya. Orang-orang yang berdiri di dekat gerobak rokok itu
menghindar tanpa peduli. Halte itu senantiasa ramai karena
tak jauh dari situ ada satu jalur pintu keluar jalan tol yang
menukik dan selalu sesak oleh mobil-mobil yang hendak
keluar. Lelaki itu meneruskan perjalanannya menuju kolong
penurunan jalan layang tol itu. Meski berpagar besi, telah lama
ada bagian yang sengaja dibolongi oleh penghuni-penghuni
kolong jalan layang itu untuk dijadikan pintu masuk. Tempat
lelaki setengah umur itu di pojok yang rada gelap dan
terlindung dari hujan dan panas. Dari dulu tempatnya di situ,
tak ada yang berani mengusik. Kecuali beberapa kali ia
diangkut oleh pasukan tramtib kota, lalu kemudian dilepas dan
kembali lagi ke situ. Ia lalu membongkar isi gerobaknya,
mengeluarkan lipatan kardus dan mengaturnya menjadi tikar.
Anjing betina berwarna hitam kurus itu mengibas-ngibaskan
ekornya ketika lelaki itu mengambil sebuah piring plastik dari
dalam buntelan, lalu membagi makanan yang didapatnya dari
rumah makan tadi. Keduanya makan dengan lahap tanpa
menoleh kanan-kiri.
Bocah perempuan ingusan itu berdiri dari jauh di bawah
kolong jalan layang itu, memandang dengan rasa lapar yang
menyodok pada dua makhluk yang sedang asyik menikmati
makan siang itu. Ia memberanikan dirinya menuju kedua
makhluk itu, lalu bergabung makan dengan anjing betina
berwarna hitam kurus itu. Ternyata anjing betina itu penakut.
Ia menghindar dan makanan yang tinggal sedikit itu
sepenuhnya dikuasai bocah perempuan itu dan ia melahapnya.
Sedang lelaki setengah umur itu tidak peduli, meneruskan
makannya hingga licin tandas dari daun pisang dan kertas
coklat pembungkus. Mengeluarkan sebuah botol air kemasan
berisi air, meminumnya separuh. Tanpa bicara apa- apa,
bocah perempuan ingusan itu menyambar botol itu dan
meminumnya juga hingga tandas. Lelaki setengah umur itu
hanya memandang, sedikit terkejut, tapi tidak bicara apa-apa.
Air mukanya tawar saja. Mengeluarkan rokok dan
membakarnya sambil bersandar pada gerobak kecilnya.
Tergeletak tidur setelah itu di atas bentangan kardus kumal.

MALAM telah larut. Bocah perempuan ingusan itu terbirit-birit
dikejar gerimis yang mulai menghujan. Rambutnya yang nyaris
gimbal itu kini melekat lurus-lurus di kulit kepalanya disiram
gerimis. Bunyi krincingan dan kresek-kresek kantong plastik
yang dibawanya membangunkan anjing betina kurus berwarna
hitam itu. Ia menyalak sedikit, kemudian merungus setelah
dilempari sepotong kue oleh bocah itu. Lewat penerangan
jalan, samar- samar dilihatnya lekaki setengah umur itu tidur
bergulung bagai angka lima di atas kardus. Setelah melahap
kue, anjing itu kembali tidur di sebelah tuannya, di atas
bentangan kardus yang tersisa.
Bocah itu mengeluarkan lilin dan korek api dari dalam kantong
plastik. Berkali-kali menggoreskan korek api, padam lagi oleh
tiupan angin bertempias. Lalu ia mendekat ke arah lelaki
setengah umur itu agar lebih terlindung oleh angin dan
berhasil menyalakan lilin. Bocah itu melihat ujung lipatan
kardus tersembul dari dalam gerobak kecil di atas kepala lelaki
setengah umur itu. Ia berusaha menariknya keluar tanpa
menimbulkan suara berisik dan membangunkan lelaki itu.
Setelah berhasil, ia membaringkan dirinya yang setengah
menggigil karena pakaiannya basah. Merapat pada tubuh
lelaki yang memunggunginya itu, sekadar mendapatkan
imbasan panas dari tubuh lelaki itu.
Bocah perempuan ingusan itu cepat terlelap dan bermimpi
berperahu bersama anjing betina kurus berwarna hitam itu di
sebuah danau yang sunyi. Deru mesin mobil yang melintasi
jembatan beton di atas mereka justru menimbulkan rasa
tenteram, rasa hidup di sebuah kota yang sibuk. Lelaki
setengah umur itu juga sedang bermimpi tidur dengan
seorang perempuan. Ketika ia membalikkan badannya, ia
menangkap erat-erat tubuh bocah yang setengah basah itu
dan melanjutkan mimpinya.
Sebelumnya, kolong penurunan jalan layang tol itu cukup
padat penghuninya di malam hari. Beberapa anak jalanan
yang sehari- hari mengamen di sepanjang jalan bawah, juga
bermalam di situ. Ada lima anak jalanan laki-laki yang selalu
menjahili bocah perempuan yang selalu membawa krincingan
itu sampai menangis berteriak-teriak. Lelaki setengah umur itu
membiarkannya saja. Mungkin menurutnya sesuatu yang
biasa-biasa saja, meskipun anak-anak lelaki itu sampai-
sampai menelanjangi bocah perempuan ingusan itu. Penghuni
lain pun tak ada yang berani membela. Sejak itu, bocah
perempuan ingusan itu menghilang, entah tidur di mana.
Lelaki setengah umur itu mulai marah ketika suatu hari ia
membawa seekor anjing betina kurus berwarna hitam ke
markasnya. Mungkin anjing itu kurang sehat hingga
semalaman anjing itu terkaing-kaing. Lelaki itu tampak
berusaha keras mengobati anjing itu dengan menyuguhkan
makanan dan air. Tapi, anak-anak jalanan yang jahil itu
melempari anjing itu dengan batu. Salah satu batunya
mengenai kepala lelaki itu. Lelaki itu meradang, lalu
mengambil golok di dalam timbunan buntelan dalam gerobak
kecilnya. Anak-anak itu dikejarnya. Konon salah seorang
terluka oleh golok itu. Namun, mereka tak ada yang berani
melawan dan tak berani kembali lagi.
SEBELUM subuh, pasukan tramtib itu datang lagi, lengkap
dengan polisi dan beberapa truk dengan bak terbuka
pengangkut gelandangan. Sebelum matahari muncul, kolong-
kolong jembatan dan jalan layang harus bersih dari manusia-
manusia kasta paling melata itu. Mimpi lelaki itu tersangkut
bersama gerobaknya di atas bak truk. Begitu juga bocah
perempuan itu. Lelaki setengah umur itu menggapai-gapaikan
tangannya, minta petugas menaikkan anjingnya yang
menyalak-nyalak, minta ikut bersama tuannya. Tapi, sebuah
pentungan kayu telah mendarat di kepala anjing kurus itu
hingga terkaing-kaing, berlari ke seberang jalan dan hilang
ditelan kegelapan.
"Mampus kau, anjing kurapan!" sumpah petugas itu sambil
melompat ke atas truk yang segera berangkat.
Bak truk terbuka itu nyaris penuh, termasuk tukang rokok di
halte dekat situ. Lelaki setengah umur itu tampak geram.
Matanya mencorong ke arah petugas yang memegang
pentungan. Petugas itu pura-pura tidak melihat. Hujan telah
berhenti. Iringan truk yang penuh manusia gelandangan kota
yang dikawal mobil polisi bersenjata lengkap di depannya,
menuju ke suatu tempat arah ke Utara, dan kemudian
membelok ke kanan. Dari pengeras suara di puncak-puncak
menara masjid terdengar azan subuh bersahut-sahutan. Bulan
semangka tipis masih menggantung di langit, kadang-kadang
tertutup awan yang bergerak ke Barat.
BEBERAPA minggu kemudian, pelintas jembatan
penyeberangan yang beratap itu, kembali menemukan lelaki
setengah umur itu berpraktik di tempat sebelumnya. Ia baru
turun mengemasi kaleng peot dan alas kardusnya ketika
matahari mulai tergelincir ke Barat. Melangkah dengan pasti,
menuju tempat gerobak kecilnya ditambatkan.
Di depan pangkalan truk yang telah menyempitkan jalan, lelaki
itu mendorong gerobak kecilnya dengan santai sambil
mengawasi puntung-puntung rokok yang masih berapi
dilempar sopir-sopir truk ke jalan. Ada yang sengaja
melemparkan puntung rokoknya ketika laki- laki bergerobak itu
melintas. Di atas gerobaknya, kini bertengger bocah
perempuan ingusan itu sambil terus bernyanyi dengan iringan
krincingannya. Orang-orang tak ada yang peduli.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar