Senin, 03 Desember 2012

WALI NANGGROE ATAU WALI NEGARA

MEMBACA beberapa tulisan yang
mengulas tentang Wali Nanggroe
termasuk pandangan beragam yang
berkembang selanjutnya yang
dinisbahkan kepada Tgk Hasan Tiro, saya
ingin menambahkan informasi mengenai
makna kata “Wali Nanggroe” itu sendiri
yang cenderung a historis karena tidak
merujuk pada buku atau tulisan Tgk
Hasan Tiro itu sendiri dimana beliau tidak
pernah mengatakan sebagai Wali
Nanggroe melainkan sebagai Wali Negara.
Secara singkat, padat dan hematnya sbb:
Sepengetahuan saya, kata “Wali
Nanggroe” dengan “Wali Negara” adalah
berbeda maknanya. Sebutan “Wali
Nanggroe” tidak lepas dari konteks
sejarah Aceh, sehingga kata “Nanggroe”
bukan bahasa Aceh terjemahan yang tepat
untuk “Negara”, karena kata “Negara”
bahasa Acehnya adalah “Neugara”,
sedangkan kata “Negeri” dalam bahasa
Aceh adalah “Nanggroe” (Kamus
Indonesia-Aceh, oleh M Hasan Basri, hlm
626, Yayasan Cakra Daru 1994).
Istilah tersebut dalam konteks sejarah
Aceh lebih jelas jika seandainya
dipahamkan kedalam bahasa Inggris
Head of state untuk Wali Negara dan
Guardian untuk Wali Nanggroe. Contoh
lainnya, kata “Wali Negara” dan “Wali
Nanggroe” hampir sama kata namun
berbeda maknanya, seperti kata Country
dan County dalam bahasa Inggris.
Almarhum Tgk Hasan di Tiro sendiri tidak
pernah mengatakan dirinya sebagai Wali
Nanggroe melainkan sebagai Wali Negara
sejak 1976. (Sumber: buku The Price of
Freedom: The Unfinished Diary of Tgk
Hasan di Tiro, kolom The Genealogy of the
Tengku Chik di Tiro, hlm. 141 dan juga
terjemahan buku Jum Meurdéhka,
Seuneurat Njang Gohlom Lheuëh pada
kolom yang sama).
Silsilah sebagai Wali Negara tersebut
sebagai berikut: 1. Tgk Sjech Muhammad
Saman (1874-1891) 2. Tgk M Amin
(1891-1896) 3. Tgk Bèd/Ubaidullah
(1896-1899) 4. Tgk. Lambada
(1899-1904) 5. Tgk Mahjeddin
(1904-1910) 6. Tgk Ma’at (1910-1911) 7.
Tgk M Hasan (1976-2010).
Sedangkan informasi yang terdapat
dalam buku beliau yang lain di antaranya,
Acheh - New Birth of Feedom yang
diterbitkan oleh parlemen Inggris House of
Lords, 1 Mei, 1992, dalam appendix II,
nama Tengku Hasan di Tiro termaktub
sebagai penguasa (ruler) Aceh yang ke-41
yang dimulai pada Sultan Ali Mughayat
Syah (1500-1530) sampai kepada dirinya
(1976-2010). Sekali lagi, dari semua
tulisan buku beliau, almarhum Tgk Hasan
di Tiro cendrung mengatakan kalau
dirinya sebagai Wali Negara bukan Wali
Nanggroe.
Sedikit tambahan, sebutan Wali Negara
juga pernah dialami oleh Tgk Daud
Beureuéh saat mendirikan gerakan Darul
Islam, yang berlanjut pada pendirian
Republik Islam Aceh (RIA), namun suksesi
Wali Negara setelah beliau almarhum
tidak berlanjut. Hampir sama kejadiannya,
sejak Tgk Hasan di Tiro wafat, belum ada
seorang pun, baik yang berasal dari
keturunan keluarga di Tiro maupun
bukan, yang mengklaim dirinya sebagai
pengganti Wali Negara.
Penurunan makna pemahaman kata Wali
Negara menjadi Wali Nanggroe serupa
seperti pemaksaan kata Aceh yang
beridentitas sebagai sebuah bangsa kini
menjadi sebuah suku, padahal suku di
Aceh itu misalnya Suku Alas, Aneuk
Jamee, Gayo, Gayo Luwes, Kluet,
Simeulue, Singkil, Tamiang.
Seyogyanya, opini yang berkembang
menyangkut kontroversial klaim
seseorang sebagai Wali Nanggroe ke 9
perlu dikaji ulang menurut sejarah Aceh
atau referensi dari buku karya Tgk Hasan
Di Tiro. Demikian juga, patut
dipertanyakan atas dasar hukum apa,
oleh siapa, di mana dan kapan Malik
Mahmud diangkat langsung sebagai Wali
Nanggroe ke-9 sedangkan dalam
berhitung saja dimulai dengan angka 1,
bukan 9.
Dalam dinamika politik, informasi yang
diulang-ulang dalam kehidupan sehari-
hari meskipun keliru akan menjadi sebuah
kebenaran, meskipun ditoreh sebagai
bagian dalam sejarah. Walaupun
demikian, tidak boleh menjadi sebuah
justifikasi fakta karena sembari mengutip
para mubaligh yang sering mengatakan
“Qul al haqq wa law kana
murran” (Katakan yang benar walaupun
pahit--akibatnya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar