Sabtu, 01 Desember 2012

MENUNGGU PELANGI

Karya: Putroe Bendahara

“ Ehm, paman. Cari sisanya dimana yah?
Maaf ya paman kalo ngrepotin..” “ Aduh
dimana ya? Paman Heru udah jarang
banget ketemu event – event balap.”
Jawab Paman Heru. “ Bener nih Paman?
Ngga ada sama sekali?” tanyaku sekali
lagi untuk meyakinkan. “ Ada sih satu.
Paman kemarin ketemu satu event.
Hadiahnya lumayan gede juga” jawab
paman sekali lagi. “Ya udah aku ikut.”
Jawabku tanpa pikir panjang. “Tapi yang
ngadain Komunitas Bali.” Ujar Paman.
“Hah? Bali? Balap Liar paman?” tanyaku
dengan heran. “Iya. Kamu tau kan
konsekuensinya?” “Emmmm, oke deh
gapapa. Pokoknya ayah sembuh.”

Setelah kubicarakan hal ini dengan
mama, Tami dan Hugo, tak ada yang
menyetujui kesepakatanku kecuali Hugo.
Hanya dia yang menyemangatiku saat itu.
“ Udah To. Kalo ada barang yang bisa
dijual, biar mama jual daripada kamu ikut
balapan kaya gitu.” Mama melarangku. “
Iya kak. Biar nanti Tami jual gorengan
atau apa gitu buat bayar biayanya ayah.
Daripada kakak nanti kenapa – napa.”
Tami yang masih di bangku SD itu juga
berusaha melarang. Tapi keputusanku
udah bulat. Aku akan tetap mengikuti
balap ini.

Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Sudah
siap aku di atas motor balapku ini. Tak
lupa ada gantungan kunci dari Pelangi
yang menemaniku. Para cewek – cewek
di depanku menarik bendera hitam putih
di tangan mereka. Segera melaju kami
semua. Urutan pertama ada rivalku si
Joe. Tapi aku berusaha menyalipnya.
Beberapa lap sudah kulewati. Tinggal
satu lap lagi. Aku masih di urutan dua.
Joe mengencangkan lagi gasnya. Aku
juga tak mau kalah. Aku tancap gasku.
Kini jarakku dengan Joe hanya beberapa
cm! Kutancap lagi gasku! Garis finish
sudah ada di depanku. Mataku mulai jeli
memainkan trik. Kutancap gas hingga aku
berada di depan Joe. Kuhalangi laju
motor Joe dengan zig zag. Tinggal sedikit
lagi.. Ya, ya, ya.. YESSS!!! Aku berhasil
mencapai urutan pertama di garis
finish. Paman Heru berteriak
menyemangatiku dari jauh. Para
penonton menyoraki dan memberi tepuk
tangan untukku. Sangat haru sekali.
Sangat memuaskan. Tapi, polisi! Polisi!
Polisi! Penonton berlarian kesana kemari.
Para pembalap lain melaju kencang tak
berarah. Paman Heru berteriak padaku
“Tito!!!! Ayo pergi!!!! Paman ga mau kamu
ditangkap polisi!!!” “Lhoh kenapa
paman???!!!!! Aku kan belum dapat
hadiahnya!!!!” teriakku membalas paman
Heru. “Tito ini Balap Liar!!!!! Kamu lupa
ya????!!!!!!”

Jregg. Oh iya!! Aku baru teringat.
Kutancap gasku. Aku melaju tanpa arah.
Tak kusangka segerombolan cewek centil
berlari dengan histeris di depanku. Aku
rem motorku dengan sangat mendadak
dan dengan kecepatan yang melebihi
normalnya. Keseimbanganku goyah. Aku
terjatuh dari motorku!

Kaki kiriku tertindih body motorku.
Sebelum kubebaskan kaki kiriku, kuraih
dulu gantungan kunci dari Pelangi. Sedikit
lagi…, yah! Aku berhasil membebaskan
kakiku! Gantungan kunci dari Pelangi juga
sudah kukantongi.

Belum aku berdiri dari jatuhku, seorang
pembalap dengan motor besarnya segera
melindas kedua kakiku dengan kecepatan
tinggi. Sakit sekali! Aku mengerang
kesakitan. Benar – benar sakit. Lebih
sakit daripada hatiku yang tercabik saat
Pelangi pergi. Paman Heru datang
menghampiriku. Belum sempat aku
mendengar Paman Heru berbicara,
pandangankupun gelap. Apa ini? Aku
sudah mati? Oh aku sudah mati ya.
Ternyata aku sudah
mati.

Perlahan – lahan aku membuka mataku.
Rasanya sudah lama sekali aku tidur.
Tapi ada mama di depanku. Tami dan
Hugo juga ada. Baunya sama persis
ketika aku melihat ayah yang terbaring
lemah di ranjang rumah sakit. Oh? Aku
sedang ada di rumah sakit?

Aku bangun dari tidurku. Kulihat anggota
badanku. Ada yang hilang!! Kakiku!!
Mana?? Dimana kedua kakiku? Tertanya
peristiwa itu membuat aku kehilangan
kedua kakiku. Harusnya aku menuruti
nasehat mama dan Tami. Pasti tidak akan
seperti ini jadinya. Ah! Tapi nasi telah
menjadi bubur. Apa daya??

“Kak, waktu kakak koma, kak Pelangi
dating kesini lho.” Kata Tami saat aku
berbaring di ranjang tidur. “ Oh ya? Terus
terus? Kak Pelangi bilang apa aja?”
tanyaku penasaran dan langsung bangkit
dari tidurku. “Enggak bilang apa – apa.
Cuma kesini pegang tangan kak Tito terus
pulang.” Jelas Tami. “Cuma gitu? Dia ga
nitip apa – apa?” aku heran. “ Emm,
enggak kok.” Jawab Tami ragu. “oh. Ya
udah deh”.
Siang itu hujan turun. Aku sangat ingat
pada Pelangi. Soalnya dia pernah buat
janji tiap ada hujan turun dia akan balik
buat liat pelangi sama – sama. Dengan
bantuan dorongan Hugo, aku menelusuri
lorong rumah sakit hingga ke lobby
dengan kursi roda. Kutunggu terus hingga
Hugo tertidur di atas sofa. Tapi hingga
larut ia tak juga datang.

Namun aku sangat menyesal
menunggunya sejak aku melihat surat
yang terletak di atas meja. Andai saja
waktu Tami bercerita padaku, aku tau
kalau di tangannya ada surat dari
Pelangi. Surat itu berisi : “Buat Tito
sahabat gue sekaligus pacar gue yang
paling gue sayang. To, gue minta maaf.
Gue ga bisa balik lagi buat liat pelangi
sama – sama lagi kaya dulu. Soalnya di
sini gue udah ketemu ama cowok yang
gue pikir bisa dampingin hidup gue.
Tolong titip gantungan kuncinya ya.
Rawat yang baik oke?”
Itupun belum semua. Yang paling
membuat aku menyesal menunggunya
semalaman adalah kalimat terakhir dari
suratnya. Yaitu: “Gue ga bisa hidup sama
orang cacat kaya lo”
Kini kusadari, pelangi hanya terbentuk
dari pembiasan yang tidak nyata. Namun
bisa membuat satu cahaya putih menjadi
bermacam – macam warna. Tetapi
pelangi hanya sementara dan bila tak
ada air dan cahaya pelangi hanya akan
mengingkari janjinya untuk menyinari
dunia.

Sama seperti si Pelangi. Pelangi memiliki
ciri – ciri yang kuimpikan namun tidak
nyata di hatinya. Ia bisa membuat
hidupku berwarna dan ceria. Tapi hiburan
itu hanya sementara untukku dan bila
tidak ada diriku yang utuh seperti dulu, ia
mengingkari janjinya dan berpaling.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar